Selasa, 15 Februari 2011

BEKANTAN DIRUNDUNG BIMBANG (Tanggapan Tulisan Syarifuddin R)



Oleh: HE. Benyamine

Bekantan dirundung bimbang, sepertinya memang begitu keadaannya, karena betapa masih kurangnya alasan dalam pembangunan (rencana) patung tetapi juga pandangan terhadap keberadaan bekantan itu sendiri yang seakan dapat digantikan dengan patung saja sebagai bukti bahwa hewan jenis ini pernah dinyatakan paling banyak populasinya di Kalimantan Selatan sehingga menjadi pijakan menjadikannya sebagai maskot fauna daerah, yang meskipun punah nantinya.

Pendapat berbeda terhadap rencana pembangunan patung bekantan tidaklah sama dengan meremehkan dan tidak menganggap maskot fauna daerah serta jika dianggap banyak yang tidak membelanya (Media Kalimantan, 18 November 2010: C3), karena yang dipermasalahkan bukan maskot Kalimantan Selatan tapi rencana patungnya sebagai ikon kota Banjarmasin. Apalagi gagasan awal pendirian patung bekantan tersebut berasal dari pejabat publik (wawali Alwi Sahlan) yang terpesona dengan patung Singa (Marlion) saat yang bersangkutan berkunjung, dan menyaksikan banyak sekali pengunjungnya termasuk dirinya sendiri sehingga terpikir seolah-olah dengan berdirinya patung (bekantan) di kota Banjarmasin juga banyak pengunjungnya tanpa melihat budaya yang mendukungnya.

Budaya yang mendukungnya inilah yang seharusnya dan penting untuk ditanggapi oleh para seniman dan budayawan (khususnya LBB Kalsel), sebagaimana yang dikemukakan Hajriansyah (Media Kalimantan, 6 November 2010: C3; Patung, Kota dan Masyarakat yang Mencari Identitas), sehingga gagasan yang muncul dari suatu kunjungan (pejabat publik) pada suatu tempat dapat lebih diperhatikan berdasarkan budaya yang hidup di daerah sendiri. Dukungan sebagai wujud penghargaan memang penting, tetapi lebih penting adalah dukungan yang menghadirkan nilai budaya dalam gagasan seperti rencana pembangunan patung bekantan tersebut.

Sebagaimana Syarifuddin R yang mengingatkan dalam tulisan, Beginilah Jika Bekantan Dirundung Bimbang (MK, 18/11/10), bahwa penetapan maskot fauna dan flora sebagai kesepakatan bersama dan diketahui oleh daerah (khususnya daerah yang memiliki kesamaan) lainnya di Indonesia, karena ketika itu populasi bekantan cukup banyak sebagai alasan disepakatinya menjadi maskot daerah Kalimantan Selatan, sebenarnya sangat jelas untuk mengatakan bahwa keberadaan bekantan saat ini perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Karena populasi bekantan yang lebih banyak tersebutlah yang menjadi dasar ditetapkannya sebagai maskot daerah Kalimantan Selatan, yang tentunya sangat menyedihkan jika populasi itu terus menyusut menuju kepunahannya. Semakin berkurangnya populasi bekantan merupakan petunjuk tidak adanya pembelaan, meremehkan dan tidak menganggap maskot fauna daerah -- karena alasan populasi yang menjadi dasar penetapan maskot tersebut.

Sedangkan apa yang dikemukakan Siti Fatimah Ahmad seharusnya dapat dipandang bahwa pengelolaan Taman Negara yang menjaga habitat bekantan yang menjadikan daya tarik bagi wisatawan, bukan karena disana ada berdiri patung bekantan, hal ini sebenarnya secara implisit dinyatakan Syarifuddin R bahwa para wisatawan lebih tertarik ke tempat aslinya (habitat bekantan) yang mudah dijangkau. Jadi, pembangunan patung bekantan memang tidak ada yang salah, sebanyak apapun patung dibangun tetap saja sebagai patung, namun demikian orang-orang tentu tetap lebih tertarik dengan yang aslinya (habitat bekantan). Sehingga, terlalu berlebihan jika sampai dinyatakan bahwa keberadaan patung bekantan sebagai penanda pernah memilikinya kalau (suatu saat nanti) bekantan itu punah.

Begitu juga dengan keberadaan bekantan yang menghuni Taman Safari dengan dilengkapi rumah Banjar, sebagai sebagian usaha untuk menghidupkan bekantan, yang sebenarnya sangat jauh berbeda dengan usaha di daerah di mana habitatnya terdapat. Di sini perlu diperhatikan, keberadaan bekantan di Taman Safari yang berasal dari Kalimantan Selatan harus menjadi semangat daerah untuk memperhatikan dan menjaga habitat aslinya, apalagi beberapa pulau telah dijadikan cagar alam, seperti Pulau Kaget (Barito Kuala), karena jangan sampai orang tetap menyebut bekantan berasal dari Kalimantan Selatan tetapi di daerah sendiri terus mengalami penyusutan populasi yang pada akhirnya hilang. Orang akan mengingat Kalimantan Selatan tidak mampu menjaga maskotnya sendiri.

Bekantan dirundung bimbang, ungkapan yang tepat, karena disamping dibanggakan sebagai maskot daerah Kalimantan Selatan hingga akan dijadikan patung ikon Kota Banjarmasin namun juga seolah dibiarkan saja mengalami penyusutan populasinya. Bahkan keberadaan patung nantinya sudah dianggap cukup mewakili keberadaannya yang pernah ada. Memang lebih mudah membangun patung dibandingkan menjaga habitatnya. Membangun patung cukup sekali, sedangkan menjaga habitat bekantan mengharuskan dilakukan secara terus menerus. Pembangunan patung bekantan sebagai ikon kota Banjarmasin tidak ada yang salah, hanya saja alasan pembangunannya tidak mencukupi dan kurang pendalaman filosofis.

(Media Kalimantan, 19 November 2010: C3)

Komentar :

Banjarmasin sesungguhnya tak layak lagi mendapat julukan ”Kota Seribu Sungai”. Sebab sekarang ini sungainya banyak yang sudah mati dan sisanya dapat.dihitung dengan jari. Apa lagi yang dapat dibanggakan ?

Kemudian muncul polemik tentang patung bakantan. Kok repot-repot memikirkan perkara pelestarian "bekantan". Yang gampang-gampang ajalah. Bikin patungnya aja kan gampang. Kok repot-repot “

Sebenarnya, kalau mau bikin patung, perlu ada pertimbangan yang matang agar tidak.terjadi benturan dengan.kuatnya relegiusitas di tanah Banjar ini,. Bagi aku pribadi, bikin patung itu setuju-setuju saja, karena aku melihat dari sisi seni, sisi keindahan, bukan untuk disembah-sembah seperti berhala. Kalau patung bekantan itu jadi berhala jelas bukan aku saja yang tidak setuju tetapi juga masyarakat Banjar umumnya.

Tentang adanya intansi yang mengurusi pelestarian bekantan ini memang sangat diharapkan upaya yang serius dan lebih baik lagi jika ada kerja sama dengan pihak2 yang menghendaki adanya pelestariannya. Sebab kita menyadari, semua ini adalah upaya yang sangat sulit dan pekerjaan yang sangat berat seperti, harus berhadapan dengan para kapitalis dan orang-orang yang hanya mencari keuntungan, yang tidak memperhatikan dampak kerusakan alam yang sekaligus merusak habitat bekantan dan satwa lainnya.

Buruknya kondisi lingkungan habitat ini karena semakin berkurangnya pepohonan sebagai sumber makanan bekatan, perlu pendanaan yang cukup besar dan juga gencarnya menyosialisasikan pelestariannya pada masyarakat baik secara langsung maupun melalui media cetak dan elektronik.

Permasyalahannya, "belum" perlu “bikin” patung bekantan, tetapi yang lebih perlu “pelestariannya” dulu karena bekantan semakin ”punah”. Oleh karena itu motor penggeraknya ini tentu saja selaku kepala "ahuinya" intansi yg bersangkutan dan perlu dukungan dari semua pihak. Semoga*** (Arsyad Indradi)