Oleh: Dimas Arika Mihardja
….jantungku dari patahan biola
dan suaraku denting pesona para pencinta
simphoni pengukur ruah mantra dari sebuah orchestra ….
(“Mantra Bosanova”)
….jantungku dari patahan biola
dan suaraku denting pesona para pencinta
simphoni pengukur ruah mantra dari sebuah orchestra ….
(“Mantra Bosanova”)
Penggalan larik puisi karya Rama Prabu bertajuk “Mantra Bosanova” ini tampaknya
mewakili keseluruhan esensi estetis dan sekaligus tematis puisi-puisi yang
terangkum dalam buku ini. Rama Prabu melakuka reinterpretasi maha karya
Ramayana lalu merentangpanjangan jalan “cinta” hingga ke masa kini. Topik puisi
yang digubah oleh Rama Prabu dapat diklasifikasikan dalam lima kategori berikut
(1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2)
tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan
penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap
masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan
keyakinan. Rama Prabu sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia
menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan
religius.
Persoalan-persoalan edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius itu pada
gilirannya merupakan manifestasi dari kristalisasi nilai-nilai yang dijadikan
penuntun, pemandu, pedoman, pengendali, rujukan, tolok ukur ucapan, tindakan,
dan perilaku penyair sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk
Tuhan. Lebih lanjut, nilai-nilai itu bagi penyair berfungsi mendasari,
merangsang, mendinamiskan, mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan tindakan
penyair dalam berkarya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk
Tuhan. Hasil dari itu semua adalah dibuahkannya puisi yang mendedahkan
nilai-nilai edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Nilai-nilai ini secara samar dan tersirat meruak di dalam puisi-puisi karya
Rama Prabu yang dimuat dalam buku ini. Realisasi pengendapan dan pendaran
nilai-nilai “cinta” yang universal itu ditelisik dan ditelusuri oleh penyair
seperti membaca peta perjalanan agung kisah Ramayana (yang klasik dan antik) ke
kehidupan masa kini yang eksotis dan estetis di mata penyair. Banyak nama yang
turut membesarkan dan mengasuh “cinta” sebagai referensi penyair, seperti Empu
Walmiki, Pablo Neruda, Rumi hingga nama-nama karib penyair seperti Tulus
Wijanarko, Suprabo Anggo, Heru Marwata, Lisa Febriyanti, Saut Situmorang, Iin
Yunawinarti (istri penyair), Lintang Ayu Sastraningrum, Landung Simatupang,
Arsyad Indradi, Mariska Lubis, Dimas Arika Mihardja, D Kemalawati, Kurniawan Junaedhie,
dan sahabat hati lainnya yang turut meronai “wajah cinta” karya-karya Rama
Prabu. Tata pergaulan antarpenyair,
baik melalui interteks, maupun interaksi turut mematangkan puisi-puisi Rama
Prabu. Nilai-nilai “cinta” dalam pengertian luas merujuk pada adanya simpati
dan empati penyair Rama Prabu terhadap masalah edukatif, filosofis, etis,
estetis, dan religius.
Semua nilai-nilai itu oleh Rama Prabu dikemas sebagai upaya penyampaian
keindahan dan kebenaran melalui teks puisi. Nilai-nlai ini dijadikan prioritas
bagi penyair dalam berkarya, meskipun jauh di lubuk hati penyair mungkin tidak
dimaksudkan sebagai “petani yang sengaja menanam tanaman nilai-nilai”. Terkait
dengan ini dapat dikemukakan bahwa setiap penyair, termasuk Rama Prabu, dalam
menciptakan puisi selalu berorientasi pada penyampaian nilai-nilai ini.
Penyampaian nilai-nilai ini realisasinya berupa usaha maksimal penyair dalam
menata bahasa dalam bingkai konvensi sastra dan konvensi budaya untuk mewadahi
gagasan yang akan disampaikan melalui teks puisi. Salah satu cara ungkap yang
digunakan oleh Rama Prabu dalam penulisan kreatif puisi-puisinya ialah dengan
cara “bilang begini, maksudnya begitu” atau meminjam ungkapan Riffaterre dalam
Semiotic of Poetry (1978) “Says of thing and means another”.
Dalam konteks pendaran dan pengendapan nilai-nilai ini pembaca dapat menikmati
puisi-puisi Rama Prabu yang secara umum dapat dicirikan sebagai puisi-puisi (1)
remang-remang tetapi menawan, (2) puisi-puisi yang sarat dengan pemikiran
filsafati, (3) puisi-puisi yang lincah mengolah kata-kata, (4) puisi-puisi yang
sarat pemikiran kejawen, (5) puisi-puisi yang sederhana tetapi kuat dalam
penyampaian pesan, dan (6) puisi-puisi yang mengolah ragam bahasa Jawa di
beberapa puisinya (dalam beberapa puisinya, Rama Prabu membubuhkan notes yang
saya anggap sebagai “catatan hati” yang identik dengan catatan kaki untuk karya
ilmiah; selain itu, Rama prabu juga menggunakan referensi silang saat menulis
puisi bagi seseorang).
Teks puisi yang diciptakan oleh penyair Rama Prabu secara umum memiliki ciri
ketidaklangsungan pengungkapan yang menurut Riffatere (1978) timbul akibat
adanya penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias
seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh
adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; terdapat juga penciptaan arti
(creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi,
enjamemen, dan persejajaran baris. Karakteristik ketidaklangsungan teks puisi
tersebut dirangkum dalam paparan berikut ini.
Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi-puisi yang diciptakan oleh
penyair Rama Prabu pada umumnya kata-kata kiasan difungsikan untuk menggantikan
arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2).
Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang
lain. Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam
puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi yang
digubah oleh Rama Prabu kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti
ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Di dalam teks puisi yang ditulis
oleh Rama Prabu juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud
secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu
yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca
berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang
berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.
Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi
bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk
membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara
linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau
ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait.
Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti
antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi
(homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di
luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna
yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan
bunyi dan paralelisme.
Teks puisi termasuk ke dalam jenis teks transaksional, karena hal yang
dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan
bersifat umum, karena teks puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati
sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi
diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang
khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir,
dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa teks
puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan
tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara
penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi
merupakan teks khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan
memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu
di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut
subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat
ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti
dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya
sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini
dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi.
Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut
dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta
mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku
lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik
itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang
memiliki pola jiwa tertentu.
Hakikat epilog ialah penyampaian “pemandangan akhir” dari keseluruhan corak
puisi-puisi yang termuat di dalam sebuah buku. Prolog ini kiranya telah
memberikan gambaran bagaimana seorang Rama Prabu “mengudar gagasan” dan
“mengendapkannya” di dalam teks puisi. Upaya pengudaran gagasan, yang lalu
ditindaklanjuti dengan pengendapan gagasan itu dikemas dengan karakteristik
utama sebuah puisi yang pada prinsipnya: “Says of thing and means another”,
bilang begini maksudnya begitu. Dengan prinsip ini, Rama Prabu berhasil
mengungkapkan topik puisi yang diklasifikasikan dalam lima kategori: (1)
tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan
penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair
terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah
keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan.
Secara ringkas dapat dikemukakan untuk mengakhiri epilog ini bahwa Rama Prabu
sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh
perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Puisi-puisi karya Rama Prabu yang termuat di dalam buku Ramayana, Jalan Cinta
dapat dipandang sebagai sebuah upaya memaknai “cinta” (cinta dalam tanda
kutip). Realisasi “cinta” penyair telah dicurahkan melalui teks-teks puisi yang
memang sebaiknya dibaca, dimaknai, dan dihayati sendiri oleh pembaca. Di akhir
pembacaan dan pemaknaan, pembaca akan berseru “o, begitu panjang dan berliku
jalan cinta itu; sebuah jalan kehidupan yang harus ditelusuri oleh siapa pun
yang ingin sebenar-benrnya hidup”. Begitulah, sebuah epilog yang sejatinya
merupakan rangkuman hasil pembacaan telah didedahkan secara ringkas. Ya, sebuah
epilog memang harus ringkas agar tidak terkesan nyinyir dan menggurui.
Demikian, salam sastra.
Jambi, September 2011