Senin, 02 April 2012

Epilog : Pendaran dan Pengendapan nilai-nilai ”cinta” dalam teks puisi karya Rama Prabu.



Oleh: Dimas Arika Mihardja

….jantungku dari patahan biola
dan suaraku denting pesona para pencinta
simphoni pengukur ruah mantra dari sebuah orchestra ….

(“Mantra Bosanova”)

Penggalan larik puisi karya Rama Prabu bertajuk “Mantra Bosanova” ini tampaknya mewakili keseluruhan esensi estetis dan sekaligus tematis puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini. Rama Prabu melakuka reinterpretasi maha karya Ramayana lalu merentangpanjangan jalan “cinta” hingga ke masa kini. Topik puisi yang digubah oleh Rama Prabu dapat diklasifikasikan dalam lima kategori berikut (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Rama Prabu sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Persoalan-persoalan edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius itu pada gilirannya merupakan manifestasi dari kristalisasi nilai-nilai yang dijadikan penuntun, pemandu, pedoman, pengendali, rujukan, tolok ukur ucapan, tindakan, dan perilaku penyair sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Lebih lanjut, nilai-nilai itu bagi penyair berfungsi mendasari, merangsang, mendinamiskan, mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan tindakan penyair dalam berkarya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Hasil dari itu semua adalah dibuahkannya puisi yang mendedahkan nilai-nilai edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Nilai-nilai ini secara samar dan tersirat meruak di dalam puisi-puisi karya Rama Prabu yang dimuat dalam buku ini. Realisasi pengendapan dan pendaran nilai-nilai “cinta” yang universal itu ditelisik dan ditelusuri oleh penyair seperti membaca peta perjalanan agung kisah Ramayana (yang klasik dan antik) ke kehidupan masa kini yang eksotis dan estetis di mata penyair. Banyak nama yang turut membesarkan dan mengasuh “cinta” sebagai referensi penyair, seperti Empu Walmiki, Pablo Neruda, Rumi hingga nama-nama karib penyair seperti Tulus Wijanarko, Suprabo Anggo, Heru Marwata, Lisa Febriyanti, Saut Situmorang, Iin Yunawinarti (istri penyair), Lintang Ayu Sastraningrum, Landung Simatupang, Arsyad Indradi, Mariska Lubis, Dimas Arika Mihardja, D Kemalawati, Kurniawan Junaedhie, dan sahabat hati lainnya yang turut meronai “wajah cinta” karya-karya Rama Prabu. Tata pergaulan antarpenyair, baik melalui interteks, maupun interaksi turut mematangkan puisi-puisi Rama Prabu. Nilai-nilai “cinta” dalam pengertian luas merujuk pada adanya simpati dan empati penyair Rama Prabu terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Semua nilai-nilai itu oleh Rama Prabu dikemas sebagai upaya penyampaian keindahan dan kebenaran melalui teks puisi. Nilai-nlai ini dijadikan prioritas bagi penyair dalam berkarya, meskipun jauh di lubuk hati penyair mungkin tidak dimaksudkan sebagai “petani yang sengaja menanam tanaman nilai-nilai”. Terkait dengan ini dapat dikemukakan bahwa setiap penyair, termasuk Rama Prabu, dalam menciptakan puisi selalu berorientasi pada penyampaian nilai-nilai ini. Penyampaian nilai-nilai ini realisasinya berupa usaha maksimal penyair dalam menata bahasa dalam bingkai konvensi sastra dan konvensi budaya untuk mewadahi gagasan yang akan disampaikan melalui teks puisi. Salah satu cara ungkap yang digunakan oleh Rama Prabu dalam penulisan kreatif puisi-puisinya ialah dengan cara “bilang begini, maksudnya begitu” atau meminjam ungkapan Riffaterre dalam Semiotic of Poetry (1978) “Says of thing and means another”.
Dalam konteks pendaran dan pengendapan nilai-nilai ini pembaca dapat menikmati puisi-puisi Rama Prabu yang secara umum dapat dicirikan sebagai puisi-puisi (1) remang-remang tetapi menawan, (2) puisi-puisi yang sarat dengan pemikiran filsafati, (3) puisi-puisi yang lincah mengolah kata-kata, (4) puisi-puisi yang sarat pemikiran kejawen, (5) puisi-puisi yang sederhana tetapi kuat dalam penyampaian pesan, dan (6) puisi-puisi yang mengolah ragam bahasa Jawa di beberapa puisinya (dalam beberapa puisinya, Rama Prabu membubuhkan notes yang saya anggap sebagai “catatan hati” yang identik dengan catatan kaki untuk karya ilmiah; selain itu, Rama prabu juga menggunakan referensi silang saat menulis puisi bagi seseorang).
Teks puisi yang diciptakan oleh penyair Rama Prabu secara umum memiliki ciri ketidaklangsungan pengungkapan yang menurut Riffatere (1978) timbul akibat adanya penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; terdapat juga penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Karakteristik ketidaklangsungan teks puisi tersebut dirangkum dalam paparan berikut ini.
Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi-puisi yang diciptakan oleh penyair Rama Prabu pada umumnya kata-kata kiasan difungsikan untuk menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi yang digubah oleh Rama Prabu kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Di dalam teks puisi yang ditulis oleh Rama Prabu juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.
Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.
Teks puisi termasuk ke dalam jenis teks transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena teks puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa teks puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan teks khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu.
Hakikat epilog ialah penyampaian “pemandangan akhir” dari keseluruhan corak puisi-puisi yang termuat di dalam sebuah buku. Prolog ini kiranya telah memberikan gambaran bagaimana seorang Rama Prabu “mengudar gagasan” dan “mengendapkannya” di dalam teks puisi. Upaya pengudaran gagasan, yang lalu ditindaklanjuti dengan pengendapan gagasan itu dikemas dengan karakteristik utama sebuah puisi yang pada prinsipnya: “Says of thing and means another”, bilang begini maksudnya begitu. Dengan prinsip ini, Rama Prabu berhasil mengungkapkan topik puisi yang diklasifikasikan dalam lima kategori: (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Secara ringkas dapat dikemukakan untuk mengakhiri epilog ini bahwa Rama Prabu sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Puisi-puisi karya Rama Prabu yang termuat di dalam buku Ramayana, Jalan Cinta dapat dipandang sebagai sebuah upaya memaknai “cinta” (cinta dalam tanda kutip). Realisasi “cinta” penyair telah dicurahkan melalui teks-teks puisi yang memang sebaiknya dibaca, dimaknai, dan dihayati sendiri oleh pembaca. Di akhir pembacaan dan pemaknaan, pembaca akan berseru “o, begitu panjang dan berliku jalan cinta itu; sebuah jalan kehidupan yang harus ditelusuri oleh siapa pun yang ingin sebenar-benrnya hidup”. Begitulah, sebuah epilog yang sejatinya merupakan rangkuman hasil pembacaan telah didedahkan secara ringkas. Ya, sebuah epilog memang harus ringkas agar tidak terkesan nyinyir dan menggurui. Demikian, salam sastra.
Jambi, September 2011