Minggu, 06 Juli 2014

BURINIK SENI BUDAYA BANJAR

Oleh: HE. Benyamine 

Keberadaan wujud seni budaya di tanah Banjar antara ada dan tiada, menurut penuturan yang sering terdengar ada tetapi sudah tidak eksis lagi dalam wujudnya, seperti tenggelam namun masih kelihatan riak-riaknya, beberapa kalangan menyebut hal ini sebagai diistilahkan dengan sebutan batang tarandam. Usaha untuk melestarikannya digemakan dengan sebutan maangkat batang tarandam. Keprihatinan demi keprihatinan atas tenggelamnya seni budaya Banjar sering terlontar di sembarang tempat, yang keras terdengar hanya seperti suara pinggiran, dan sesekali mengisi pidato-pidato elit kekuasaan. 

Keprihatinan dan keterpanggilan dalam seni budaya Banjar yang terus mengalami keterpinggiran dapat dilihat dari apa yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, sekecil apapun yang dilakukannya, akan mempunyai makna yang sangat berarti dalam pelestarian seni budaya Banjar tersebut, bahkan hal itu lebih kepada menghidupkannya kembali dalam ruang pikir dan ruang hiburan masyarakat di mana seni budaya itu hidup dan berkembang dulunya. Upaya yang demikian terlihat dari kegiatan yang digagas Sainul Hermawan dengan Lamut Masuk Sekolah, sebagai contoh yang saat ini terlihat sebagai keteguhan atas ketidakpedulian yang massif. Hal yang sejajar terlihat juga dari karya Arsyad Indradi dalam Burinik (Kumpulan Puisi Bahasa Banjar dengan Bahasa Indonesia-nya) terbitan KSSB Banjarbaru 2011, yang menampilkan berbagai bentuk adat tradisi dan mitos dalam bentuk puisi bahasa Banjar dengan terjemahan bahasa Indonesia.

Dalam Burinik, Arsyad Indradi seperti ingin menegaskan bahwa banyak seni budaya Banjar yang tidak diperhatikan, bahkan generasi belakangan sudah banyak yang tidak mengetahui lagi apa itu Lamut, Badudus, Baahuy, Mamanda, dan lainnya. Sebagaimana digambarkannya pada setiap akhir puisi, seperti dalam Badudus (penganten) dengan ungkapan, “Mudahan diingat turuntimurun kahada jua talupaakan”. Juga mengenai mitos dan cerita-cerita yang berhubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya, seperti dalam puisi Saekong Bekantan Bini yang ditamsilkan sebagai “Sosok ibu yang teramat ibu”. 

Melalui puisi-puisi dalam bahasa Banjar dengan terjemahan bahasa Indonesia, Arsyad Indradi yang dikenal sebagai Penyair Gila, berusaha maangkat batang tarandam dengan upaya memindahkan sastra lisan ke sastra tulisan, karena saat ini sudah mulai ada perubahan dalam sastra lisan tersebut menjadi sastra dalam bentuk tulisan. Bahkan sebagian puisi-puisi dalam Burinik sengaja diberi notasi musik, yang merupakan suatu pengalaman dengan kerinduan urang Banjar pada dendang syair yang juga semakin tidak terdengar lagi. Dengan adanya notasi musik pada puisi-puisi tersebut membuka peluang puisi menjadi hiburan bagi yang mendengarnya, yang mendekatkan puisi pada telinga yang lebih mudah menerima sastra lisan. Salah satu puisi yang ada notasi musiknya adalah Maangkat Batang Tarandam yang lebih pada puisi penyemangat untuk bersama-sama menghidupkan seni budaya Banjar, sekecil apapun itu. 

Dengan menyelipkan terjemahan dalam bahasa Indonesia, kumpulan puisi bahasa Banjar Burinik ini, secara langsung diharapkan dapat membantu pembaca yang bukan bahasa ibunya Banjar, sehingga dapat lebih menjangkau pembaca yang lebih luas. Hal ini merupakan suatu peluang bagi orang luar dalam mengenal seni budaya Banjar, yang dapat mendorong rasa ingin tahu dan perasaan yang lebih jauh dalam membayangkan pola pikir orang Banjar. Karena melalui puisi-puisi ini sebagian adat istiadat dan mitos di masyarakat Banjar tergambarkan dengan jelas, yang selama ini lebih banyak terdengar dari penuturan lisan. 

Seperti Lamut, yang hingga saat ini belum ada cerita yang dilisankan Palamutan dalam bentuk tulisan atau buku sebagaimana naskah I La Galigo, yang oleh Arsyad Indradi dicoba diketengahkan dalam penggalan cerita dalam puisi Buah Sukma Biduri tentang istri Raden Kasan Mandi yang lagi mengidam, dengan akhir puisi yang menyatakan keprihatinan, “Tarbang mengalunngalun semakin ke ujung semakin menghilang/ … /Aku sudah tua/Aku seoranganlah yang tertinggal tiada siapasiapa lagi/Jika tiada yang meneruskan lamut bagaimana nasib senibudaya Banjar”. Hal ini begitu sejalan dengan keprihatinan Sainul Hermawan tentang Lamut yang menjadikannya tertarik untuk bahan desertasinya. Jika memperhatikan cerita dan segi naskah sungguh panjang dan menarik untuk diteliti, karena dari cerita-cerita tersebut ada hal yang tersembunyi dan dapat menjadi petunjuk tentang perjalanan panjang penghuni tanah Banjar ini. 

Di sini menjadi penting untuk mengupayakan berbagai sastra lisan ke dalam bentuk bahan bacaan, yang sebagiannya sudah mulai diperlihatkan Arsyad Indradi dan beberapa tokoh lainnya, yang cenderung sebagai suatu bentuk keprihatinan dan ketertarikan sendiri-sendiri saja. Sudah seharusnya hal ini diarahkan menjadi kesadaran bersama-sama, dan tentunya harus dilakukan secara terencana untuk mendokumentasikan semua sastra lisan, sehingga generasi belakangan dapat menemukannya dalam perubahan budaya baca yang semakin meningkat saat ini dan yang akan datang. 

Jadi, melalui Kumpulan Puisi Bahasa Banjar Burinik sebenarnya Arsyad Indradi ingin mengingatkan bahwa yang dimaksud batang tarandam benar-benar ada, namun masih terlihat sebagai burinik-burinik, dan masih merupakan cerita mulut ke mulut, belum dapat menunjukkan bahwa yang terendam itu benar-benar seni budaya Banjar yang dimaksud. Di samping itu, sebagian pihak masih disibukkan dengan burinik (riak), tanpa ada kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menyelam dan melihat langsung asal burinik tersebut dan meangkatnya ke permukaan sebagai sesuatu seni budaya yang dapat lestari dan menghibur tentunya. Mungkin pada suatu saat, kita dapat melihat Arsyad Indradi mendendangkan puisi-puisi yang berisi seni budaya tersebut dalam suatu tampilan, atau beliau dapat mengadaptasi Lamut dengan isi cerita berasal dari puisi-puisi tersebut. Burinik, burinik, burinik … tentu ada sesuatu di dasarnya.

Selasa, 01 Juli 2014

Topeng,Karawitan dan Wayang Kulit Barikin

Oleh : Arsyad Indradi

Di tanah Banjar (Kalimantan Selatan) banyak punya tarian klasik seperti tari Radap Rahayu, Baksa Kembang,Baksa Dadap,Baksa Lilin, Baksa Panah dan lain-lain. Tarian ini hidup subur dalam keraton Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan Banjar pada tanggal 24 September 1526 ( M. Idwar Saleh,1981/1982) sampai berakhirnya perang Banjar yakni berakhirnya pemerintahan Pegustian sebagai penerus kerajaan Banjar tahun 1905 (Ideham, dkk. editor, 2003). 

Tarian ini masing-masing mempunyai fungsinya, misalnya Tari Radap Rahayu berfungsi dalam acara sakral yaitu menapungtawari penobatan raja atau pembesar kerajaan dan Tari Baksa Kembang untuk penyambutan tamu agung dari kerajaan lain. Setelah berakhirnya kerajaan lambat laun tarian-tarian ini mulai tenggelam dan yang masih betahan hidup adalah Tari Radap Rahayu dan Baksa Kembang di tanah Banjar. 

Di samping tarian klasik .seperti tersebut di atas, sesungguhnya ada tarian klasik yang lebih tua yaitu Tari Topeng. Tari Topeng ini tetap lestari di sebuah Desa bernama Barikin dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, sejak zaman dahulu sampai sekarang, turun-temurun dan mandiri. Tokoh penari topeng ini adalah “Mastaliah” bersama anak cucu asuhannya. 

Menurut A.W.Syarbaini salah satu juriat Barikin yang juga sebagai pimpinan Sanggar Seni Tradisional Ading Bastari Barikin bahwa karawitan sudah ada di desa barikin sejak tahun 1410 yang dibawa oleh seorang Datu bergelar “Datu Taruna”, tari topeng sekitar tahun 1425 dan wayang kulit sekitar 1438. 

Topeng Barikin ini juga ada beberapa jenis,lagu pengiring dan fungsinya. Ada yang berfungsi untuk memberi selamat dalam acara sakral “Manyanggar Banua”, dalam acara hajatan dan juga pagelaran berupa hiburan baik dalam perayaan hari-hari besar nasional,daerah mau pun acara perkawinan. Jenis Tari Topeng Barikin dan lagu pengiringnya ini adalah 1).Panambi lagunya panambi 2).Pamindu lagunya pamindu 3).Gunung Sari lagunya gunung sari 4).Patih lagunya patih 5).Timanggung lagunya timanggung 6).Panji lagunya wani wani, dan 7).Lambang sari lagunya lambang sari. 

Pengiring tarian ini diiring tetabuhan seperangkat karawitan. Seiring dengan tarian-tarian Topeng ini, karawitan Barikin ini berfungsi juga sebagai pengiring pertunjukan wayang kulit.. 

Tahun 1820 dikenal dengan K.Dalang “Kitut”. Setelah K.Dalang Kitut meninggal digantikan oleh putranya K.Dalang Tulur. Dalang ini sangat termashur dari tahun1950 sampai dengan tahun 1975.. Kemudian ditahun 1975 itu bertumbuhan dalang2 Barikin seperti Dalang Alili, Dalang Tuganal,.Dalang Didi dan dalang remaja seperti Dalang Dimansyah, Dalang Rahmadi, Dalang A.W.Syarbaini, dan Dalang Saderi yang sekarang bersama Group Wayang “Panji Sukma” Sanggar Ading Bastari, melanglang buana di Pulau Kalimantan sampai ke luar Pulau Kalimantan. 

Pada acara Penobatan Raja Muda dan Penganugerahan Gelar Pangeran, 10-12 Desember 2010, di Martapura, Sanggar Ading Bastari mendapat kehormatan oleh Pangeran Haji Khairul Saleh menggelar Seni Budaya Banjar baik Badudus, Bajapin, Musik Panting, Tari Topeng dan Wayang Kulit. 

Sungguh patut dan memang itu seharusnya, adat istiadat dan Seni Budaya Banjar terus dilestarikan dengan kerja nyata bukan hanya sekedar semboyan atau omongan belaka atau diperlukan manakala ada kepentingan lain atau hanya sesaat.*** Semoga