Minggu, 06 Juli 2014

BURINIK SENI BUDAYA BANJAR

Oleh: HE. Benyamine 

Keberadaan wujud seni budaya di tanah Banjar antara ada dan tiada, menurut penuturan yang sering terdengar ada tetapi sudah tidak eksis lagi dalam wujudnya, seperti tenggelam namun masih kelihatan riak-riaknya, beberapa kalangan menyebut hal ini sebagai diistilahkan dengan sebutan batang tarandam. Usaha untuk melestarikannya digemakan dengan sebutan maangkat batang tarandam. Keprihatinan demi keprihatinan atas tenggelamnya seni budaya Banjar sering terlontar di sembarang tempat, yang keras terdengar hanya seperti suara pinggiran, dan sesekali mengisi pidato-pidato elit kekuasaan. 

Keprihatinan dan keterpanggilan dalam seni budaya Banjar yang terus mengalami keterpinggiran dapat dilihat dari apa yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, sekecil apapun yang dilakukannya, akan mempunyai makna yang sangat berarti dalam pelestarian seni budaya Banjar tersebut, bahkan hal itu lebih kepada menghidupkannya kembali dalam ruang pikir dan ruang hiburan masyarakat di mana seni budaya itu hidup dan berkembang dulunya. Upaya yang demikian terlihat dari kegiatan yang digagas Sainul Hermawan dengan Lamut Masuk Sekolah, sebagai contoh yang saat ini terlihat sebagai keteguhan atas ketidakpedulian yang massif. Hal yang sejajar terlihat juga dari karya Arsyad Indradi dalam Burinik (Kumpulan Puisi Bahasa Banjar dengan Bahasa Indonesia-nya) terbitan KSSB Banjarbaru 2011, yang menampilkan berbagai bentuk adat tradisi dan mitos dalam bentuk puisi bahasa Banjar dengan terjemahan bahasa Indonesia.

Dalam Burinik, Arsyad Indradi seperti ingin menegaskan bahwa banyak seni budaya Banjar yang tidak diperhatikan, bahkan generasi belakangan sudah banyak yang tidak mengetahui lagi apa itu Lamut, Badudus, Baahuy, Mamanda, dan lainnya. Sebagaimana digambarkannya pada setiap akhir puisi, seperti dalam Badudus (penganten) dengan ungkapan, “Mudahan diingat turuntimurun kahada jua talupaakan”. Juga mengenai mitos dan cerita-cerita yang berhubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya, seperti dalam puisi Saekong Bekantan Bini yang ditamsilkan sebagai “Sosok ibu yang teramat ibu”. 

Melalui puisi-puisi dalam bahasa Banjar dengan terjemahan bahasa Indonesia, Arsyad Indradi yang dikenal sebagai Penyair Gila, berusaha maangkat batang tarandam dengan upaya memindahkan sastra lisan ke sastra tulisan, karena saat ini sudah mulai ada perubahan dalam sastra lisan tersebut menjadi sastra dalam bentuk tulisan. Bahkan sebagian puisi-puisi dalam Burinik sengaja diberi notasi musik, yang merupakan suatu pengalaman dengan kerinduan urang Banjar pada dendang syair yang juga semakin tidak terdengar lagi. Dengan adanya notasi musik pada puisi-puisi tersebut membuka peluang puisi menjadi hiburan bagi yang mendengarnya, yang mendekatkan puisi pada telinga yang lebih mudah menerima sastra lisan. Salah satu puisi yang ada notasi musiknya adalah Maangkat Batang Tarandam yang lebih pada puisi penyemangat untuk bersama-sama menghidupkan seni budaya Banjar, sekecil apapun itu. 

Dengan menyelipkan terjemahan dalam bahasa Indonesia, kumpulan puisi bahasa Banjar Burinik ini, secara langsung diharapkan dapat membantu pembaca yang bukan bahasa ibunya Banjar, sehingga dapat lebih menjangkau pembaca yang lebih luas. Hal ini merupakan suatu peluang bagi orang luar dalam mengenal seni budaya Banjar, yang dapat mendorong rasa ingin tahu dan perasaan yang lebih jauh dalam membayangkan pola pikir orang Banjar. Karena melalui puisi-puisi ini sebagian adat istiadat dan mitos di masyarakat Banjar tergambarkan dengan jelas, yang selama ini lebih banyak terdengar dari penuturan lisan. 

Seperti Lamut, yang hingga saat ini belum ada cerita yang dilisankan Palamutan dalam bentuk tulisan atau buku sebagaimana naskah I La Galigo, yang oleh Arsyad Indradi dicoba diketengahkan dalam penggalan cerita dalam puisi Buah Sukma Biduri tentang istri Raden Kasan Mandi yang lagi mengidam, dengan akhir puisi yang menyatakan keprihatinan, “Tarbang mengalunngalun semakin ke ujung semakin menghilang/ … /Aku sudah tua/Aku seoranganlah yang tertinggal tiada siapasiapa lagi/Jika tiada yang meneruskan lamut bagaimana nasib senibudaya Banjar”. Hal ini begitu sejalan dengan keprihatinan Sainul Hermawan tentang Lamut yang menjadikannya tertarik untuk bahan desertasinya. Jika memperhatikan cerita dan segi naskah sungguh panjang dan menarik untuk diteliti, karena dari cerita-cerita tersebut ada hal yang tersembunyi dan dapat menjadi petunjuk tentang perjalanan panjang penghuni tanah Banjar ini. 

Di sini menjadi penting untuk mengupayakan berbagai sastra lisan ke dalam bentuk bahan bacaan, yang sebagiannya sudah mulai diperlihatkan Arsyad Indradi dan beberapa tokoh lainnya, yang cenderung sebagai suatu bentuk keprihatinan dan ketertarikan sendiri-sendiri saja. Sudah seharusnya hal ini diarahkan menjadi kesadaran bersama-sama, dan tentunya harus dilakukan secara terencana untuk mendokumentasikan semua sastra lisan, sehingga generasi belakangan dapat menemukannya dalam perubahan budaya baca yang semakin meningkat saat ini dan yang akan datang. 

Jadi, melalui Kumpulan Puisi Bahasa Banjar Burinik sebenarnya Arsyad Indradi ingin mengingatkan bahwa yang dimaksud batang tarandam benar-benar ada, namun masih terlihat sebagai burinik-burinik, dan masih merupakan cerita mulut ke mulut, belum dapat menunjukkan bahwa yang terendam itu benar-benar seni budaya Banjar yang dimaksud. Di samping itu, sebagian pihak masih disibukkan dengan burinik (riak), tanpa ada kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menyelam dan melihat langsung asal burinik tersebut dan meangkatnya ke permukaan sebagai sesuatu seni budaya yang dapat lestari dan menghibur tentunya. Mungkin pada suatu saat, kita dapat melihat Arsyad Indradi mendendangkan puisi-puisi yang berisi seni budaya tersebut dalam suatu tampilan, atau beliau dapat mengadaptasi Lamut dengan isi cerita berasal dari puisi-puisi tersebut. Burinik, burinik, burinik … tentu ada sesuatu di dasarnya.

Selasa, 01 Juli 2014

Topeng,Karawitan dan Wayang Kulit Barikin

Oleh : Arsyad Indradi

Di tanah Banjar (Kalimantan Selatan) banyak punya tarian klasik seperti tari Radap Rahayu, Baksa Kembang,Baksa Dadap,Baksa Lilin, Baksa Panah dan lain-lain. Tarian ini hidup subur dalam keraton Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan Banjar pada tanggal 24 September 1526 ( M. Idwar Saleh,1981/1982) sampai berakhirnya perang Banjar yakni berakhirnya pemerintahan Pegustian sebagai penerus kerajaan Banjar tahun 1905 (Ideham, dkk. editor, 2003). 

Tarian ini masing-masing mempunyai fungsinya, misalnya Tari Radap Rahayu berfungsi dalam acara sakral yaitu menapungtawari penobatan raja atau pembesar kerajaan dan Tari Baksa Kembang untuk penyambutan tamu agung dari kerajaan lain. Setelah berakhirnya kerajaan lambat laun tarian-tarian ini mulai tenggelam dan yang masih betahan hidup adalah Tari Radap Rahayu dan Baksa Kembang di tanah Banjar. 

Di samping tarian klasik .seperti tersebut di atas, sesungguhnya ada tarian klasik yang lebih tua yaitu Tari Topeng. Tari Topeng ini tetap lestari di sebuah Desa bernama Barikin dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, sejak zaman dahulu sampai sekarang, turun-temurun dan mandiri. Tokoh penari topeng ini adalah “Mastaliah” bersama anak cucu asuhannya. 

Menurut A.W.Syarbaini salah satu juriat Barikin yang juga sebagai pimpinan Sanggar Seni Tradisional Ading Bastari Barikin bahwa karawitan sudah ada di desa barikin sejak tahun 1410 yang dibawa oleh seorang Datu bergelar “Datu Taruna”, tari topeng sekitar tahun 1425 dan wayang kulit sekitar 1438. 

Topeng Barikin ini juga ada beberapa jenis,lagu pengiring dan fungsinya. Ada yang berfungsi untuk memberi selamat dalam acara sakral “Manyanggar Banua”, dalam acara hajatan dan juga pagelaran berupa hiburan baik dalam perayaan hari-hari besar nasional,daerah mau pun acara perkawinan. Jenis Tari Topeng Barikin dan lagu pengiringnya ini adalah 1).Panambi lagunya panambi 2).Pamindu lagunya pamindu 3).Gunung Sari lagunya gunung sari 4).Patih lagunya patih 5).Timanggung lagunya timanggung 6).Panji lagunya wani wani, dan 7).Lambang sari lagunya lambang sari. 

Pengiring tarian ini diiring tetabuhan seperangkat karawitan. Seiring dengan tarian-tarian Topeng ini, karawitan Barikin ini berfungsi juga sebagai pengiring pertunjukan wayang kulit.. 

Tahun 1820 dikenal dengan K.Dalang “Kitut”. Setelah K.Dalang Kitut meninggal digantikan oleh putranya K.Dalang Tulur. Dalang ini sangat termashur dari tahun1950 sampai dengan tahun 1975.. Kemudian ditahun 1975 itu bertumbuhan dalang2 Barikin seperti Dalang Alili, Dalang Tuganal,.Dalang Didi dan dalang remaja seperti Dalang Dimansyah, Dalang Rahmadi, Dalang A.W.Syarbaini, dan Dalang Saderi yang sekarang bersama Group Wayang “Panji Sukma” Sanggar Ading Bastari, melanglang buana di Pulau Kalimantan sampai ke luar Pulau Kalimantan. 

Pada acara Penobatan Raja Muda dan Penganugerahan Gelar Pangeran, 10-12 Desember 2010, di Martapura, Sanggar Ading Bastari mendapat kehormatan oleh Pangeran Haji Khairul Saleh menggelar Seni Budaya Banjar baik Badudus, Bajapin, Musik Panting, Tari Topeng dan Wayang Kulit. 

Sungguh patut dan memang itu seharusnya, adat istiadat dan Seni Budaya Banjar terus dilestarikan dengan kerja nyata bukan hanya sekedar semboyan atau omongan belaka atau diperlukan manakala ada kepentingan lain atau hanya sesaat.*** Semoga 

                   

Minggu, 26 Agustus 2012

Rangkaian Kehidupan Puisi Arsyad Indradi



( Bagian 2/Habis )

Oleh : Tarman Effendi Tarsyad

JAUHKAN FATAMORGANA DI MATAKU

Mengapa aku selalu berpaling dari tatapan
Karena aku tak ingin lagi terperangkap
Sebab aku telah membaca semesta
Aku tak pernah lagi percaya pada nasib
Maka meski terus berjalan
Larat yang paling penghabisan
Adalah efitap rampungan segala jejak
Mengembalikan nafas

Dan tak lagi mengenang
musafir mengarung dunia ini
kecuali membungkus tulangbelulang
dengan asmamu.

Bbaru, 2007

Secara tersirat puisi di atas juga mengemukakan bahwa dalam prosesnya kehidupan ini akan menemui kematian. Salah satu harapan penyair saat akhir kehidupan, menjelang kematian, yaitu senantiasa mengingat Tuhan. Sebagaimana dikatakannya pada bait terakhir, ”Dan tak lagi mengenang/musafir mengarung dunia ini/kecuali membungkus tulangbelulang/ dengan asmamu”. Begitu pula dengan puisi ” Di Atas Sajadah ” (2006:77)
penyair juga menyadari bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan kematian. Sementara kematian bisa terjadi dimana saja. Kubur juga bisa dimana saja. ” laut dan lembah dan rimba dan gunung/ adalah kubur bila ajal tiba”. Untuk itu penyair berharap,”ya tuhan beri aku kesempatan/meraut namamu dan menerbangkankannya/jauh ke dalam diriku/ dan ajalkanlah bila sampai di arasymu”.

DI ATAS SAJADAH

hidup tak lebih meraut layanglayang dan
menerbangkannya ke angkasa
angin dan hujan dan panas dan awan
adalah rajah nasib di tangan
laut dan lembah dan rimba dan gunung
adalah kubur bila ajal tiba
tapi ya tuhan beri aku kesempatan
meraut namamu dan menerbangkannya
jauh ke dalam diriku
dan ajalkanlah bila sampai di arasymu

banjarbaru, 1980

Pada puisi di atas penyair memberikan perumpamaan bahwa “hidup tak lebih meraut layanglayang dan /menerbangkannya ke angkasa”. Akan tetapi pada suatu saat laying-layang itu akan jatuh Pada suatu saat manusia akan menemui kematian. Begitu pula dengan puisi ”Antara Kapal Berlabuh” (2006a:2). Melalui puisi tersebut penyair memperumpamakan kehidupan manusia seperti kapal yang berlayar mengarungi lautan. Banyak rintangan. Akan tetapi menurut penyair manusia harus terus berlayar,”sebab laut adalah sebuah jalan painjang/yang mesti kita tempuh/dan kita tak perlu lagi berpaling”. Meskipun demikian penyair menyadari bahwa pelayaran, perjalanan kehidupan, pasti akan berakhir. Kehidupan manusia akan berujung pada kematian.

ANTARA KAPAL BERLABUH

jangan ada sangsi ketika puput penghabisan
pertanda senja akan membawa kita
ke ombak yang paling jauh
muara tak lagi perbatasan bertolaknya
sebuah kapal yang sarat dengan riwayat
yang kita aksarakan pada sebuah perjalanan
dan burungburung laut melepaskan
kepaknya ke karangkarang ketika
kelam menyempurnakan malam
adalah masasilam yang kita sauhkan
pada alir usia kita sebab
langit tak lagi dapat menyimpan
pandangan mata bila kita akan
menghitung nasib antara kapal
berlabuh dengan pelabuhan
di mana kita menambatkan keyakinan
maka layar telah kita kembangkan
sebab laut adalah sebuah jalan panjang
yang mesti kita tempuh
dan kita tak perlu lagi berpaling

Banjarmasin, 1972

Kesadaran penyair bahwa kehidupan manusia ini akan berakhir pada kematian, juga dikemukakannya melalui puisi “Pulang” (2009:9). Melalui puisi tersebut, penyair juga mengemukakan proses kehidupan yang terus berlangsung. Akan tetapi, sebagaimana puisi sebelumnya, penyair juga menyadari bahwa perjalanan hidup manusia akhirnya menuju suatu kematian.

PULANG

Memandang burungburung melintas sawang
Ingin kudengar kepaknya kemana akan tetirah
Senja yang semakin kelam
Kasidah sunyi semakin dalam

Aku terus juga berjalan menyisir suratan alamat
Dan tak pernah lagi menghintung perhentian
Dimana aku datang dan pergi
Kemudian datang
Dan sampai waktunya tak pernah kembali lagi
Masuk rumah keabadian sunyi

Serpong, 2007

Kesadaran penyair akan kematian, juga dikemukakannya melalui puisi ”Kubaringkan Tubuhmu” (2006c:7). Suatu saat manusia akan menemui kematian. Suatu saat tbuh manusia akan dibaringkan untuk selamanya.

KUBARINGKAN TUBUHMU

Kubaringkan tubuhmu di sini
Sampai batas pertemuan kita
Tak usah kau hitung lagi
Harihari perjanjian dendam
Dari negeri jauh
Sebab berulangkali
Kubiarkan wajahmu cuma
Bayangbayang tak kumengerti
Melintasi setiap kutub
Dimana kita ingin membaca
Isyarat lengsernya senja
Maka jika kau cari
Gumam doadoaku
Jangan kau tanya lagi
Persinggahan ini

Banjarbaru,2000

Kematian sesuatu yang pasti sifatnya. Oleh karena itu pada puisi ”Pada Suatu Stanza” (2006c:42) penyair berharap bahwa kematian jangan diratapi.


PADA SUATU STANZA

Jangan ratapi kematian
Kau tak akan pernah mengenal airmata
Apakah ada cinta yang abadi
Jika ada yang hilang pada dirimu
Dan ratapan segenap putusnya ikatan
Ia adalah dusta cintamu
Dusta di balik gulita dalam terang
Yang tak habis membaca rahasia kehidupan

Tapi kuratapi hanya kau kekasih
Yang ingat belasungkawa dalam diam
Dan tak pernah rintih dalam kerinduan
S’tiap kuusik tidurku dalam diri
Kau berkata : Jauhkan cinta pada ajalku
Ia adalah altokumulus kehidupan
Yang tak lepas meracuni setiap orang
Maka aku berpihak kepadamu

Aku berpihak kepadamu kekasih
Mataku selalu jaga kala tidur
Aku berkata : Ekstase jiwa
pengungkap segala dusta semesta
Di mana sukma pikiran
Lahir tanpa ibubapa
Aku dalam renung
Yang berpihak kepadamu

Banjarbaru,2004

Bila penyair menyadari bahwa kehidupan akan berakhir pada kematian. Bila penyair berharap bahwa kematian jangan diratapi. Timbul pertanyaan, kematian yang seperti apa yang dikehendaki oleh penyair ? Puisi “Doa Selembar Daun” (2006:42) berikut barangkali memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

DOA SELEMBAR DAUN

bila aku luruh
luruhlah dari tangkaiMu
luruh atas kasihsayangMu
bumi adalah sajadah
terhampar dari firmanMu
beri aku bumi
agar sujud abadi di rabbMu
sesungguhnyalah aku adalah daun
dari sebatang pohon
yang kutanam sewaktu masih segumpal darah
tapi perkenankanlah
inilah doaku yang paling terakhir
bila aku luruh
berilah aku luruh
luruh dari tangkai kasihsayangMu

banjarmasin, 1974

Selain puisi di atas, puisi “Risalah Perjalanan” (2006b:42) barangkali juga memberikan jawaban atas pertanyaan kematian yang seperti apa yang dikehendaki penyair ?

RISALAH PERJALANAN

aku musafir dalam lubukhatimu
karena dalam diammu
seperti halnya menghitung bintang di langit
agar aku dapat melihat hakikat dahagaku
wahai berilah aku anggur duka
agar lunas s’luruh letihku
jika aku masuk dalam persembunyianmu
duhai begitu nikmatnya ajal tiba

banjarmasin, 1977

Dengan demikian jelas bahwa melalui beberapa puisi Arsyad Indradi dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang erat kaitannya dengan diri penyair. Seperti memilih kota sebagai tempat tinggal, aktivitas dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, beberapa harapan kepada Tuhan yang dikemukakan terutama melalui doa, kesadaran bahwa kehidupan ini akan berakhir pada kematian, dan gambaran kematian yang diinginkan penyair.

Terlepas dari gambaran di atas, suatu hal yang perlu dicatat pada puisi Arsyad Indradi, terutama berkenaan dengan bahasa puisinya sebagaimana juga puisi Hahami Adaby seperti terlihat dalam kumpulan Bunga Angin (2002) yaitu adanya penulisan kata ulang tanpa tanda penghubung (-) dan kelompok kata yang ditulis serangkai. Sebagai contoh pada puisi Arsyad Indradi dapat dilihat pada kumpulan pertama dan terakhir. Dalam kumpulan pertama Nyanyian Seribu Burung, penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda penghubung misalnya buihbuih, burungburung, rumahrumah,bayibayi, tangantangan, dosadosa, tibatiba, kembangkembang, mejameja, kursikursi, suratsurat, batubatu, retakretak, katakata, tubuhtubuh, dan orangorang. Penulisan kelompok kata yang serangkai misalnya masasilam, malambuta, anaksianak, satudemisatu, zamankezaman, yatimpiatu, dan hingarbingar.

Dalam kumpulan terakhir, Anggur Duka, penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda hubung misalnya tibatiba, lelehleleh, kuhempashempas, batubatu, wajahwajah, alapalap, letihletih, burungburung, pedagangpedagang, orangorang, masingmasing, lembahlembah, bukitbukit, batangbatang, anakanak, rumahrumah, ayatayat, dan kunangkunang. Penulisan kelompok kata yang ditulis serangkai misalnya kesumabangsa, satupersatu, hatinurani, aksaranamu, hirukpikuk, lembardemilembar, mengasihsayangi, berhatinurani, porakporanda, gerimismalam, katahati, airmataduka, mataharimerah, bersuntingbunga, mataombak, dan untaidemiuntai. Sehubungan dengan penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda hubung dan menggabungkan kata yang seharusnya terpisah, sebenarnya juga dilakukan oleh Dorothea Rosa Herliany. Bahkan Dorothea Rosa Herliany juga menulis misalnya satu larik yang terdiri dari beberapa kata, tetapi ditulis serangkai. Hal itu dapat dilihat misalnya dalam kumpulan puisi Dorothea Rosa Herliany pada judul Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Kill TheRadio-Sebuah Radio,Kumatikan (2001), Para Pembunuh Waktu (2002), maupun dalam Nikah Ilalang (2003).*****

Tarman Effendi Tarsyad, lahir di Banjarmasin, 29 Oktober 1961. Puisinya dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Siklus 5 Penyair Muda (1983), Puisi Indonesia 87 (1987), Jendela Tanah Air (1995), Perkawinan Batu (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (Banjarmasin Dalam Puisi,2010), Kalimantan Dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011), Kumpulan puisi tunggalnya, Segalanya Tetap Memberi Makna (Tahura Media Banjarmasin,2012).*****

Terbit di : Media Kalimantan, Minggu 26 Agustus 2012.







Sabtu, 25 Agustus 2012

Rangkaian Kehidupan Puisi Arsyad Indradi




( Bagian 1 )

Oleh : Tarman Effendi Tarsyad

Arsyad Indradi lahir di Barabai, 31 Desember 1949. Arsyad Indradi termasuk penyair generasi 1970-an. Menulis puisi baik dlam bahasa Indonesia maupun bahasa Banjar. Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain, Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga ( 2006b ), Narasi Musafir Gila ( 2006c ),Anggur Duka (2009). Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain Kalalatu ( 2006 ) dan Burinik (2009).
Puisi Arsyad Indradi juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Jejak Berlari (1970 ), Panorana (1972), Tamu Malam (1992), Jendela Tanah
Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997 ), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000 ), Bahana (2001 ), Tiga Kutub Senja (2001 ), Bulan Ditelan Kutu ( 2004 ), Bumi Menggerutu ( 2004 ), Baturai Sanja ( 2004 ),
Anak Jaman ( 2004 ), Dimensi ( 2005 ), Puisi Penyair Nusantara : “ 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010), Akulah Musi (2011), Doa Pelangi di Tahun Emas (2010), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (2010), Kalimantan dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011).
Dari empat kumpulan puisi Arsyad Indradi yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia sejak 1970 hingga 2010 Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga ( 2006b ), Narasi Musafir Gila ( 2006c ),Anggur Duka (2009), suatu hal menarik, melalui puisinya dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang dekat dengan kehidupan penyair,. Pertama, melalui puisinya dapat diketahui mengenai kota yang dipilih penyair sebagai tempat tinggalnya. Melalui puisi “Aku Suka Kota Ini (2006a:61) penyair mengatakan bahwa kota yang dipilihnya sebagai tempat tinggal yaitu kota Banjarbaru. Mengapa penyair memilih Banjarbaru sebagai tempat tinggal ? Menurut penyair “ tidak seperti kota lain/kota ini mungil/hutan karamunting di sanasini/waktu pagi aku berada di surga burungburung/kala malam sejuta kunangkunang bertebaran/banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam/di ranahnya kutanam bungbunga cinta”.

AKU SUKA KOTA INI

tidak seperti kota lain
kota ini mungil
hutan karamunting di sanasini
tak ada untung rugi
kubangun rumah di sini
dengan keringat sendiri
waktu pagi aku berada di surga burungburung
kala malam sejuta kunangkunang bertebaran
di wajahmu mengantarkan s’luruh mimpimimpiku
kusenandungkan lagulagu rindu buat sang kekasih
lewat derai dedaunan pinus
banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam
di ranahnya kutanam bungabunga cinta

banjarbaru, 1978

Melalui puisi “Banjarbaru Kotaku Sayang” (2006a.62) penyair juga mengemukakan beberapa pernyataan mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Penyair mengatakan “jika kau beri aku seribu kota”,katanya “kupilih banjarbaru”. Bahkan penyair mengatakan “jika kau beri aku surga”,katanya “kupilih banjarbaru”. Kemudian penyair mengemukakan alasannya mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Menurut penyair “banjarbaru kota idaman” dan penyair mengatakan “kupersembahkan bungabunga cinta/buat kotaku sayang”.

BANJARBARU KOTAKU SAYANG

jika kau beri aku seribu kota
kupilih banjarbaru

jika kau beri aku surga
kupilih banjarbaru

banjarbaru kota idaman
kupersembahkan bungabunga cinta
buat kotaku sayang

banjarbaru,1978


Khusus mengenai pernyataan seorang penyair mengenai sebuah kota, jauh sebelum puisi di atas ditulis. sebenarnya pernah juga dikemukakan oleh penyair Kalimantan Selatan lainnya. Misalnya D.Zauhidhi melalui puisi “ Kandangan Kotaku Manis” (2004:i).


KANDANGAN KOTAKU MANIS

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

Di Kandangan aku dilahirkan
Dibelai timang sang matahari
Dipeluk cium sang rembulan

Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Susah senang seluruh duka

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

1960

Kembali kepada puisi Arsyad Indradi, sehubungan dengan kota yang dipilihnya sebagai tempat tingggalnya, pada puisi “Taman di Tengah Kota” (2006a:112) penyair menghendaki bahwa pada kota tempat tinggalnya tersebut (Banjarbaru) ada sebuah taman. Melalui taman tersebut, antara lain anak-anak dapat bermain dan bersuka ria. Taman tersebut juga diharapkan sebagai tempat bagi anak-anak untuk mengasah kreativitasnya dan mengembangkan bakat serta minatnya, misalnya melalui melukis.

TAMAN DI TENGAH KOTA

Ada taman di tengah kota
Sejuta impian siapa
Yang tumbuh di sana
Kota tak pernah diam
Dari pesona

Kota melahirkan
Bocahbocahnya dahaga
Taman adalah ranah
Sejuta bunga

Pesta hari anak se dunia
Bocahbocah melukis
Kota idamannya
Di dinding menara
Ada bocah melukis menara
Yang kehilangan madu lebah
Dari bungabunga
Yang susahpayah ditanamnya

Ada taman di tengah kota
Ada sejumlah impian
Yang tumbuh di sana

Banjarbaru,1997

Selain mengemukakan mengenai kota tempat tinggalnya, melalui puisinya Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai rumah yang dihuninya. Hal tersebut dapat dibaca melalui puisi “Rumah Kecilku” (2006a:17) berikut :

RUMAH KECILKU

rumah kecil pohon bergoyang berlagu duka
pintu dan jendela menghadap matahari terbit
lampu berkedip pada dunia berpaut sempit
bulan kecil tiga beranak di dalamnya

angin menyerahkan diri di gorden jendela
segala berderak bila dibuka
bapa terkapar di kaki malambuta
peluh mengucur sepanjang senyum kota

rumah kecil, rumah kecilku
bila kita cerita tentang esok pagi
betapa kejangnya urat nadi
serta kecilnya langit biru di lorong buntu

segala melaju, segala berlagu
pelabuhan siul pelaut
bapa, ibu kita berpacu
biar kita dirajuk mimpi enggan berpaut

banjarmasin, 1970

Membaca puisi di atas, mengenai rumah kecil yang dihuni oleh beberapa jiwa, barangkali mengingatkan pembaca pada puisi Chairil Anwar (1996:50). Meskipun melalui puisinya tersebut Chairil Anwar mengemukakan mengenai sebuah kamar yang sempit yang dihuni oleh beberapa jiwa.

SEBUAH KAMAR

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian penjara sepi selalu
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan :Kamar begini
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

1946

Terlepas dari “Rumah Kecil”. di kota idamannya dan di rumah yang dihuninya, selain melalukan aktivitas, Arsyad Indradi juga melaksanakan ibadah sekaligus mendekatkan kepada Tuhan terutama pada malam hari. Salah satu puisinya yang mengemukakan mengenai pendekatan dirinya kepada Tuhan, dapat diketahui melalui puisi “Malam Hening” (2006a:71). Bahkan melalui puisi tersebut, dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, penyair mengatakan “setiap untai zikir/sukma sejatiku/tak letih menunggu-Mu”.

MALAM HENING

lilin merah berkalikali dipadamkan angin
entah apa setiap kunyalakan
aku ingin dekat denganMu

dedaunan pinus berdesir
kusembunyikan degup jantungku
dalam hamparan sajadahMu

setiap untai zikir
sukma sejatiku
tak letih menungguMu

banjarbaru,1979

Melalui puisi di atas dapat diketahui bahwa waktu yang dipilih penyair dalam beribadat sekaligus mendekatkan diri. Mengapa penyair memilih waktu malam hari ?
Melalui puisi “Pintu Doa” (2009:35) penyair memberikan alasannya. Kata penyair”Mengapa aku memilih malam menemuimu/Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku”. Penyair juga mengatakan “ Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita/ Tapi maha bercahya di mataku/ Kurebahkan rinduku di pangkuanmu/ menumpahkan airmataduka/Yang terperangkap dalam dusta dunia”.

PINTU DOA

Mengapa aku memilih malam menemuimu
Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku
Begitu ramah membuka pintu setiap aku mengetuk

Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita
Tapi maha bercahya di mataku
Kurebahkan rinduku di pangkuanmu
Menumpahkan airmataduka
Yang terperangkap dalam dustadunia

Berkalikali aku datang padamu
Agar aku kaulahirkan kembali
Merindukan tangisan bayi
Yang tak pernah dusta menyerumu

Bbaru, 2008

Melalui puisi di atas, Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai harapannya kepada Tuhan. Sebagaimana ditulisnya pada bait terakhir, ”Berkalikali aku datang padamu/ Agar aku kaulahirkan kembali/ Merindukan tangisan bayi/ Yang tak pernah dusta menyerumu”. Secara tersirat penyair berharap agar ia kembali suci seperti ”bayi yang baru dilahirkan”. Sementara melalui puisi ”

AKU LARON YANG MENCARIMU
DALAM CAHAYA ITU
JANGAN KAU PADAMKAN LAMPU

gerimis semakin menebarkan sepi
semakin jauh ke perut bumi dan
impian yang digantungkan pada diri
bergetar dalam lindap bayangbayang
di sudutsudut ruang yang gelisah
dan memaya ujudnya tapi terasa
menyentaknyentak tak henti
membiarkan rinduku menggelepar
pada sayapsayap luka dalam perjalanan
yang teramat panjang dan betapa letih
dan beribu bisik yang teramat asing
lalu seketika terbaring dengan
kerongkongan kering
dan sampaikah menggapai kendi itu :
aku laron yang mencariMu
dalam cahaya itu
jangan Kau padamkan lampu

banjarbaru, 1999

Mengenai harapan penyair melalui doanya kepada Tuhan, juga dikemukakan penyair melalui puisi “Tuhan Jangan Kau Sembunyikan Doaku” (2009:8). Lewat puisi tersebut penyair mengatakan “Duhai jagat, aku tak pernah mau terajal sedikitpun/Pada sekalian dusta semesta/ Sebab aku pada diri sendiri/ Selamat tinggal pada Fatamorgana”. Kemudian, puisi tersebut ditutup penyair dengan suatu harapan, sebagaimana judul puisi tersebut, “Tuhan jangan kau sembunyikan doaku”.

TUHAN JANGAN KAU SEMBUNYIKAN DOAKU


Darahku seperti alapalap bersayapangin
Begitu isak kecil membuka pintu yang lama terkunci
Jemputlah anganmu yang terbengkalai
Aku tumpah dari perjalananmu yang panjang

Tumpah dari lukalukarindumu
Setiap jalan bersimpang kau bergumul dengan bimbang
Di batubatu kehidupan kau tulis riwayat impian
Sebelum matahari keburu terbenam

Duhai jagat,aku tak pernah mau terajal sedikitpun
Pada sekalian dusta semesta
Sebab aku lahir pada diriku sendiri
Selamat tinggal pada fatamorgana

Kubaca isak dis’luruh tapaktapakkakiku
Dan tak letihletih menulis aksaranamamu
Tuhan jangan kau sembunyikan doaku

Serpong - Tangerang, 2007

Pada puisi di atas, penyair mengatakan “Selamat tinggal pada fatamorgana”. Membaca larik tersebut, timbul pertanyaan mengapa penyair menyatakan demikian ? Secara harfiah fatamorgana berarti “(1) gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas, yang kelihatan seperti genangan air. (2) hal yang bersifat khayal dan tidak mungkin dicapai”. (KBBI 1990:240). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fatamorgana yang dimaksud pada puisi Arsyad Indradi berarti hanya suatu impian yang lebih bersifat negatif. Oleh karena itu bagi penyair perlu ditinggalkan. Hal itu juga dikemukakan penyair pada puisi “Jauhkan Fatamorgana di Mataku” (2009:13). Melalui puisi tersebut penyair mengatakan “Mengapa aku selalu berpaling darI tatapan/ Karena aku tak ingin lagi terperangkap”. ( BERSAMBUNG *)

Dimuat di : Media Kalimantan, Sabtu 25 Agustus 2012













Rabu, 06 Juni 2012

PEMBERONTAKAN IDEALIS RUH “SANG PENYAIR GILA”


Oleh : Awan Hadi Wismoko

Anak seorang polisi ini sangat diharapkan orang tuanya, meneruskan tradisi keluarga untuk menjadi seorang polisi. Dialah Arsyad Indradi sang penyair gila. Perjalanannya di bidang seni dan sastra sebenarnya dimulai sejak SMP, beberapa puisi tentang budaya banjar, alam kalimantan, religi, juga tentang kritik sosial telah diciptanya. Kesungguhannya untuk mencari jati diri dilakukannya saat beliau berani meninggalkan Asrama Pendidikan Kepolisian di hari pertamanya. Beruntung pelariannya tidak berujung di dunia yang penuh dengan kesesatan dan tipu daya tapi terseret masuk dalam dunia seni yang mungkin sudah ada dalam niatan kalbunya. Keberuntungannya bertambah saat orang tua akhirnya dengan berat hati namun sangat bijaksana memberikan ijin untuk mendalami dunia seni dengan syarat kesungguhan yang sebenarnya. Berpindah dari sanggar ke sanggar mengikuti pergerakan hatinya yang haus, beberapa dunia kesenian telah dipelajarinya mulai dari musik tradisional, tari tradisional, drama, puisi, dan menulis. Menurut saya petualangan beliau sesungguhnya bukanlah seni yang dipelajarinya tetapi proses bagaimana kedalaman pemikiran yang beliau peroleh melampaui tahap demi tahap yang dilakukanya dengan sangat unik dan penuh makna seperti saat untuk beberapa lama beliau membiarkan dirinya tidur di emperan toko, hanya dengan beralaskan koran dan berselimutkan angin malam. Tidak ada alasan tapi itulah yang beliau lakukan.
Keunikan lainnya adalah pada saat beliau menerima hibah dua setengah hektar tanah. Tanah itu ditanaminya ketela atau gumbili dalam bahasa Banjarnya. Beliau menjadikan ketela sebagai makanan pokok pengganti nasi. Luar biasanya, itu dilakukan selama kurang lebih dua tahun. Dalam kurun waktu itu beliau sempat diajari oleh orang jawa yang sempat terheran-heran dengan kelakuan beliau yang menjadikan ketela makanan sehari-harinya, padahal ada beras. Orang jawa itu mengajari bagaimana mengolah ketela menjadi gaplek (ketela yang dikeringkan dengan cara dijemur) lalu mengolahnya menjadi makanan seperti gatot (gaplek yang dikukus) dan tiwul (gaplek yang ditumbuk halus lalu dikukus). Pengalaman yang jelas menjadi bekas tapak kedalaman pemikiran berikutnya.
Perjalanannya dibidang sastra mencapai puncaknya ketika beliau menerbitkan buku pertamanya yaitu Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Tidak mudah mengumpulkan antologi puisi penyair dari seluruh nusantara dalam keadaan beliau adalah orang yang gagap teknologi, tidak bisa komputer, tidak mengenal dunia maya, sehingga semua antologi yang terkumpul dikirim melalui kantor pos. Memang menjadi pertanyaan sebagian besar penyair nusantara tapi toh akhirnya bisa dimaklumi dan berhasil mengumpulkan materi untuk buku Antologi Puisi Penyair Nusantara yang digagasnya. Masalah selanjutnya adalah tidak adanya sponsor yang mau menerbitkan buku itu. Tidak putus asa, dan dengan keteguhan yang luar biasa di umurnya yang lebih dari setengah abad itu beliau mengawali rencananya dengan belajar komputer kepada muridnya di bidang sastra yang telah menganggap beliau sebagai ayahnya. Ya karena dedikasinya dalam perkembangan sastra di Indonesia khususnya di Kalimantan Selatan hampir semua muridnya memanggil beliau dengan sebutan “abah” yang berarti “ayah”. Berbagai aplikasi komputer berhasil dikuasainya, mulai dari belajar lay out penulisan sebuah buku berikut cara mendesain covernya. Masih dalam api semangat yang berkobar didalam dadanya, dengan tak kenal lelah akhirnya jadilah master sebuah buku yang digadangnya. Ujian masih terus berlanjut karena memang sangat jarang sponsor yang mau mensponsori sebuah karya sastra. Dengan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil mengajar seni dan tari, kertas bahan untuk mencetak buku lama-lama terkumpul hingga cukup untuk membuat buku yang diharapkannya. Dicetaklah buku itu hanya dengan printer kecil , dan tetap memperhatikan kualitas cetakan yang maksimal dengan printer laser yang dipakainya. Empat bulan berselang jadilah buku-buku itu dan segera mengirimkannya ke seluruh penyair di nusantara yang telah mengirimkan antologi puisinya. Sambutan luar biasa atas terbitnya buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan oleh penyair nusantara ditandai dengan beberapa esai yang ditulis pengamat sastra dan para penyair ternama dibeberapa media nasional dan lokal hingga menyebut Arsyad Indradi sebagai seorang “Penyair Gila” . Yah itulah gelar yang melekat kepada beliau hingga kini, “Penyair Gila”. Beberapa buku lain yang telah ditulisnya antara lain, berjudul Nyanyian 1.000 Burung, Romansa Setangkai Bunga, Anggur Duka, Risalah Penyair Gila, Kalalatu, Burinik dan Narasi Musafir Gila. Kemudian 50-an lebih buku antologi puisi karya bersama.
Luapan-luapan perasaan yang dituangkan ke dalam puisi-puisinya adalah lubernya kedalaman perasaan yang diperoleh selama perjalanan hidupnya yang penuh raihan. Kalo boleh penulis menulis apa yang beliau lakukan dalam perjalananya menekuni bidang seni dan sastra juga usahanya untuk mewujudkan buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan sebagai pemberontakan yang santun idialisme ruh beliau melalui dunia seni dan sastra. Namun beliau tetap menyadari kekurangannya sebagai manusia. Dengan keteguhan prinsip kebenaran yang diyakininya dalam kehidupannya sehar- hari beliau adalah sosok yang sederhana, ramah, murah senyum, pemberi motifasi orang-orang disekelilingnya untuk pantang menyerah dalam mendapatkan keinginan positif. Sorot matanya yang tajam seiring dengan pandangan beliau yang menganggap koruptor sebagai “pembunuh”, serta pendapat beliau mengenai segala permasalahan yang terjadi di masyarakat bahwasannya pembangunan yang baik dan kehidupan layak buat masyarakat mungkin terjadi apabila mempunyai pemimpin yang punya keberanian mengambil keputusan-keputusan yang membangun berdasarkan nurani bukannya kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diri sendiri dan hanya sebagian orang. Harapan beliau yang ekstrim adalah apabila tidak ada pemimpin seperti itu lebih baik Indonesia ditenggelamkan saja seperti halnya ditenggelamkannya umat Nabi Nuh.
Pelajaran yang bisa dipetik dari sosok “penyair gila” adalah bahwa dalam hidup ini orang harus punya tujuan, niat yang kuat untuk meraih, pantang menyerah dalam menghadapi rintangan, menikmati proses sebagai sebuah pembelajaran, memperhatikan kualitas sebagai ukuran pencapaian, untuk selanjutnya membiarkannya mengalir menuju keputusan yang sejati, keputusan Sang Maha.

Banjarbaru, 12 Mei 2012
*** Penulis : Pengamat Seni Budaya, Sosial dan Desain Grafis’

Senin, 02 April 2012

Epilog : Pendaran dan Pengendapan nilai-nilai ”cinta” dalam teks puisi karya Rama Prabu.



Oleh: Dimas Arika Mihardja

….jantungku dari patahan biola
dan suaraku denting pesona para pencinta
simphoni pengukur ruah mantra dari sebuah orchestra ….

(“Mantra Bosanova”)

Penggalan larik puisi karya Rama Prabu bertajuk “Mantra Bosanova” ini tampaknya mewakili keseluruhan esensi estetis dan sekaligus tematis puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini. Rama Prabu melakuka reinterpretasi maha karya Ramayana lalu merentangpanjangan jalan “cinta” hingga ke masa kini. Topik puisi yang digubah oleh Rama Prabu dapat diklasifikasikan dalam lima kategori berikut (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Rama Prabu sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Persoalan-persoalan edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius itu pada gilirannya merupakan manifestasi dari kristalisasi nilai-nilai yang dijadikan penuntun, pemandu, pedoman, pengendali, rujukan, tolok ukur ucapan, tindakan, dan perilaku penyair sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Lebih lanjut, nilai-nilai itu bagi penyair berfungsi mendasari, merangsang, mendinamiskan, mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan tindakan penyair dalam berkarya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Hasil dari itu semua adalah dibuahkannya puisi yang mendedahkan nilai-nilai edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Nilai-nilai ini secara samar dan tersirat meruak di dalam puisi-puisi karya Rama Prabu yang dimuat dalam buku ini. Realisasi pengendapan dan pendaran nilai-nilai “cinta” yang universal itu ditelisik dan ditelusuri oleh penyair seperti membaca peta perjalanan agung kisah Ramayana (yang klasik dan antik) ke kehidupan masa kini yang eksotis dan estetis di mata penyair. Banyak nama yang turut membesarkan dan mengasuh “cinta” sebagai referensi penyair, seperti Empu Walmiki, Pablo Neruda, Rumi hingga nama-nama karib penyair seperti Tulus Wijanarko, Suprabo Anggo, Heru Marwata, Lisa Febriyanti, Saut Situmorang, Iin Yunawinarti (istri penyair), Lintang Ayu Sastraningrum, Landung Simatupang, Arsyad Indradi, Mariska Lubis, Dimas Arika Mihardja, D Kemalawati, Kurniawan Junaedhie, dan sahabat hati lainnya yang turut meronai “wajah cinta” karya-karya Rama Prabu. Tata pergaulan antarpenyair, baik melalui interteks, maupun interaksi turut mematangkan puisi-puisi Rama Prabu. Nilai-nilai “cinta” dalam pengertian luas merujuk pada adanya simpati dan empati penyair Rama Prabu terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Semua nilai-nilai itu oleh Rama Prabu dikemas sebagai upaya penyampaian keindahan dan kebenaran melalui teks puisi. Nilai-nlai ini dijadikan prioritas bagi penyair dalam berkarya, meskipun jauh di lubuk hati penyair mungkin tidak dimaksudkan sebagai “petani yang sengaja menanam tanaman nilai-nilai”. Terkait dengan ini dapat dikemukakan bahwa setiap penyair, termasuk Rama Prabu, dalam menciptakan puisi selalu berorientasi pada penyampaian nilai-nilai ini. Penyampaian nilai-nilai ini realisasinya berupa usaha maksimal penyair dalam menata bahasa dalam bingkai konvensi sastra dan konvensi budaya untuk mewadahi gagasan yang akan disampaikan melalui teks puisi. Salah satu cara ungkap yang digunakan oleh Rama Prabu dalam penulisan kreatif puisi-puisinya ialah dengan cara “bilang begini, maksudnya begitu” atau meminjam ungkapan Riffaterre dalam Semiotic of Poetry (1978) “Says of thing and means another”.
Dalam konteks pendaran dan pengendapan nilai-nilai ini pembaca dapat menikmati puisi-puisi Rama Prabu yang secara umum dapat dicirikan sebagai puisi-puisi (1) remang-remang tetapi menawan, (2) puisi-puisi yang sarat dengan pemikiran filsafati, (3) puisi-puisi yang lincah mengolah kata-kata, (4) puisi-puisi yang sarat pemikiran kejawen, (5) puisi-puisi yang sederhana tetapi kuat dalam penyampaian pesan, dan (6) puisi-puisi yang mengolah ragam bahasa Jawa di beberapa puisinya (dalam beberapa puisinya, Rama Prabu membubuhkan notes yang saya anggap sebagai “catatan hati” yang identik dengan catatan kaki untuk karya ilmiah; selain itu, Rama prabu juga menggunakan referensi silang saat menulis puisi bagi seseorang).
Teks puisi yang diciptakan oleh penyair Rama Prabu secara umum memiliki ciri ketidaklangsungan pengungkapan yang menurut Riffatere (1978) timbul akibat adanya penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; terdapat juga penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Karakteristik ketidaklangsungan teks puisi tersebut dirangkum dalam paparan berikut ini.
Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi-puisi yang diciptakan oleh penyair Rama Prabu pada umumnya kata-kata kiasan difungsikan untuk menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi yang digubah oleh Rama Prabu kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Di dalam teks puisi yang ditulis oleh Rama Prabu juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.
Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.
Teks puisi termasuk ke dalam jenis teks transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena teks puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa teks puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan teks khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu.
Hakikat epilog ialah penyampaian “pemandangan akhir” dari keseluruhan corak puisi-puisi yang termuat di dalam sebuah buku. Prolog ini kiranya telah memberikan gambaran bagaimana seorang Rama Prabu “mengudar gagasan” dan “mengendapkannya” di dalam teks puisi. Upaya pengudaran gagasan, yang lalu ditindaklanjuti dengan pengendapan gagasan itu dikemas dengan karakteristik utama sebuah puisi yang pada prinsipnya: “Says of thing and means another”, bilang begini maksudnya begitu. Dengan prinsip ini, Rama Prabu berhasil mengungkapkan topik puisi yang diklasifikasikan dalam lima kategori: (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Secara ringkas dapat dikemukakan untuk mengakhiri epilog ini bahwa Rama Prabu sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Puisi-puisi karya Rama Prabu yang termuat di dalam buku Ramayana, Jalan Cinta dapat dipandang sebagai sebuah upaya memaknai “cinta” (cinta dalam tanda kutip). Realisasi “cinta” penyair telah dicurahkan melalui teks-teks puisi yang memang sebaiknya dibaca, dimaknai, dan dihayati sendiri oleh pembaca. Di akhir pembacaan dan pemaknaan, pembaca akan berseru “o, begitu panjang dan berliku jalan cinta itu; sebuah jalan kehidupan yang harus ditelusuri oleh siapa pun yang ingin sebenar-benrnya hidup”. Begitulah, sebuah epilog yang sejatinya merupakan rangkuman hasil pembacaan telah didedahkan secara ringkas. Ya, sebuah epilog memang harus ringkas agar tidak terkesan nyinyir dan menggurui. Demikian, salam sastra.
Jambi, September 2011

Kamis, 15 Maret 2012

Penyair “ Gila “ dan Blogger Tertua

Kompas,Jumat, 17 Februari 2012

Arsyad Indradi
Penyair “ Gila “ dan Blogger Tertua

Pada usianya yang ke-63 tahun, Arsyad Indradi terus berkarya. Lebih dari 1.000 judul puisi telah ia hasilkan. Sejumlah rekan menjulukinya sebagai penyair “gila”. Baru-baru ini komunitas blogger di Tanah Air juga telah menobatkan dirinya sebagai blogger tertua di Indonesia.

Oleh : Defri Werdiono

Abah Arsyad, begitulah ia biasa dipanggil. Di kalangan sastrawan Kalimantan Selatan, sosok pensiunan pegawai negeri yang beken dengan rambut panjang ini sudah tidak asing lagi. Ia sudah malang melintangdi dunia sastra sejak puluhan tahun silam.
Ditemui di rumahnyadi Jalan Pramuka, Banjarbaru Kalimantan Selatan, Minggu (12/2), Abah Arsyad menunjukkan delapan buku hasil karyanya. Buku-buku yang ditulisnya itu antara lain, berjudul Nyanyian 1.000 Burung, Romansa Setangkai Bunga, Anggur Duka, dan Risalah Penyair Gila.
Selain itu, ada juga buku yang berjudul Kalalatu, Narasi Musafir Gila, dan tidak ketinggalan Buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Buku-bukunya tersebut dicetak sejak tahun 2007. Abah Arsyad ternyata tidak buku-buku itu melalui penerbit atau percetakan buku yang umumnya mematok harga mahal. Dia menctak sendiri dengan cara manual.
Bisa dibayangkan bagaimana ribetnya. Ia harus menulis ulang di komputer, membuat tata wajah (lay out), dan mencetak isi buku itu halaman demi halaman. Setelah itu baru dirapikan dan dijilid dengan tangan. Padahal, tidak semua buku tergolong tipis. Buku Antologi Puisi Penyair Nusantara, misalnya, memiliki tebal 728 halaman.
Menurut Abah Arsyad, semua yang dilakukan ini semata-mata
lantaran dirinya ingin menerbitkan buku sastra.Sementara menerbitkan lewat jalur yang lazim melalui percetakan modern biayanya cukup tinggi.
“ Mencari sponsor untuk menerbitkan buku sastrajuga cukup sulit.”ujarnya.
Yang menjadi catatan, sebelum menerbitkan sendiri buku-bukunya itu, Abah Arsyad ternyata tidak menguasai komputer. Jangankan mengetik, mematikan dan menghidupkan peranti modern tersebut dirinya mengaku tak bisa.
“ Memang di rumah saya ada komputer milik anak, tapi saya sebelumnya tidak bisa menggunakannya.” ujarnya.

Gayung Bersambut

Buku pertama yang diterbitkan adalah Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan, buku ituberisi puisi karya 142 dari 186 penyair di Indonesia. Mereka antara lain, Ahmadun Yosi Herfanda, D Zawawi Imron dan I Made Santha.
Sebelum membuat buku itu, Abah Arsyad terlebih dahulu mengumpulkan berbagai bahan. Bukan hal mudah, perlu upaya. Abah Arsyad memulai proses pengumpulan naskah dengan cara menghubungi teman secara beranting. Ia juga dibantu seorang kawan yang bekerja di salah satu media massa. Di media tersebutia mengumumkan bahwa Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (Komunitas yang ia dirikan) hendak membukukan karya-karya puisi dari para penyair menjadi sebuah antologi.
Rupanya gayung bersambut. Selama dua bulan, lebih dari 100 penyair mengirimkan karya mereka. Bahkan, ada beberapa penyair yang mengirimkan karya di luar batas waktu yang telah ditentukan. Pengirimannya pun menggunakan cara tradisional, yakni melalui surat.
“ Karena tidak bisa komputer dan tidak memiliki e-mail, pengirimannya pun melalui surat,” ujarnya sambil tertawa.
Begitu bahan terkumpul, Abah Arsyad masih dibantu oleh kawannya menyalin karya dari wujud kertas surat menjadi dokumen di komputer untuk dibuat buku master.
Ia mengaku butuh waktu empat bulan untuk belajar mengoperasikan komputer. Caranya otodidak sembari kadang-kadang menanyakan kepada teman. Dia tidak hanya mempelajari mengetik dengan komputer, tetapi juga belajar membuat grafis dengan menggunakan perangkat lunak komputer.
Abah Arsyad berhasil mencetak buku pertamanya pada awal tahun 2007. Dari 350 eksemplar hasil cetakan, sebagian diberikan kepada penyair yang mengirimkan puisi. Sebagian buku lainnya disumbangkan ke perpustakaan, baik yang ada di daerahnya mau pun di beberapa perguruan tinggi, secara cuma-cuma. Keberhasilan mencetak buku pertama kemudian diikuti buku-buku selanjutnya.
Sebenarnya, sebelum membuat delapan buku, yang bersangkutan telah membuat sejumlah antologi karya bersama. Beberapa karya di antaranya berjudul Jejak Berlari, Edisi Puisi Bandarmasih, Tamu Malam, Jendela Tanah Air, Pedas Lada Pasir Kuarsa, dan Kenduri Puisi.
Lantas, bagaimana keterlibatan Abah Arsyad dalam dunia blog ? Menurut ayah tiga anak ini, keterlibatnnya dalam dunia blog dan menjadi blogger adalah tindak lanjut setelah dia mencetak buku. Ia ingin bisa mengenal lebih jauh tentang internetdan dunia maya.
Perlahan namun pasti, ia mulai bersinggungan dengan e-mail, blog, dan media jejaring sosial lainnya. Melalui media internet pula, ia menuangkan karya-karyanya, termasuk menawarkan dan menjual buku cetakannya kepada penikmat sastra di Tanah Air. Dari situlah kemudian buku dari sejumlah daerah terus berdatangan hingga sekarang.
Abah Arsyad mengaku saat ini memiliki 60 blog, mulai dari situs penyair Nusantara (penyairnusantara.blogspot.com) yang menghimpun para penyair di Nusantara dan beberapa negara lain hingga situs yang khusus memuat karyanya.
“ Saat ini adalah zaman teknologi. Jadi, tidak ada salahnya seorang pelaku sastra mengikuti perkembangan yang ada.” ujarnya.
Akibat aktivitasnya di dunia maya inilah, ia dikukuhkan menjadi blogger tertua dalam acara Kopi Darat Blogger Nusantara 2011 di Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Keterlibatan mantan Kepala SMK 1 Gambut ( salah satu sekolah di Kabupaten Banjar) ini terhadap dunia sastra sebenarnya sudah berlangsung sejak SMP. Saat itu ia sudah mulai menulis puisi. Tema puisinya beragam, mulai dari budaya banjar, kekayaan alamm Kalimantan,kritik sosial, hingga yang berbau religi.

ARSYAD INDRADI
* Lahir, Barabai,31 Desember 1949
* Isteri : Misrah (56)
* Anak :
- Indra Indradi (31)
- Rahfini Indradi (30)
- Aprina Indradi (27)
Pendidikan :
- SR 9 Barabai, Hulu Sungai Tengah (1963)
- SMP 2 Barabai (19670
- SMA 3 Banjarmasin (1970)
- PGSLP Banjarmasin (1973)
- S-1 Universitas Lambung Mangkurat Mangkurat (1989)
- S-1 STIKIP Banjarmasin (1989)
Penghargaan :
- Bidang Tari dari Majelis Bandaraya Melaka bersejarah pada pesta Gendang Nusantara VII Malaysia ( 2004 dan 2009 )
- Bidang Tari dari Wali Kota Banjarbaru (2009)
- Bidang sastra dari Wali Kota Banjarbaru (2010)
- Bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan (2010)

Dimuat di Harian : Kompas,Jumat, 17 Februari 2012