Senin, 21 Maret 2011

BANJAR BUKAN KESATUAN ETNIS TETAPI KESATUAN POLITIK


Oleh Mudjahidin S


PENGANTAR:

Pernah terjadi dalam percaturan politik di Nusantara ini, masalah perbedaan agama dan etnik dijadikan sebagai kendaraan politik oleh kalangan elite politik untuk menguasai daerah. Contohnya di KalTeng bahkan sebelumnya di Kalimantan Barat dan Pada tahun 2002 menyusul konflik berdarah antar etnik-etnik oleh kalangan tertentu telah dicoba mencetuskan konflik antar agama,di kobar2kan atas nama Agama terutama antara penganut agama Islam dan penganut agama Kristen di samping antara etnik Banjar yang disebut di Kalimantan sebagai Urang Banjar dan etnik Dayak.dan bahkan soal sepele akhir2 yg lalu di Tarakan/Kaltim di bawa-bawa soal suku-untungnya tidak separah tragedi Sampit Alhamdulilah, kita hal-hal seperti itu jangan lagi terulang di Bumi Kalimantan ini, jangan sampai kita cepat terpengaruh oleh isu-isu yang menyeret kita perpecahan, zaman sekarang ini kita semua Waspada karena Budaya Dajjal sudah turun di bumi ini. Tapi baiklah diluar kontek percaturan politik saya mencoba Untuk memahami apa siapa Urang Banjar itu, guna melengkapi tulisan ini saya mencoba memahami saat menjadi peserta aktif Apa yang di paparkan dalam forum2 Aruh Banua Banjar & baik Pra/forum Maangkat batang tarandam 2010 maaf forum ini dari beberapa makalah Pemakalah saja yg saya dapatkan(karena saya tidak hadir sesuatu lain hal) kemudian saya analis dengan metode Komvesional Simitis pemahaman kejadian kejadian sekarang ini ternyata makalah- tersebut hanyalah sorotan dari satu segi saja,kenapa sya katakan begitu karena masih terasa ungkapan2 "Banjar" masih berdasar pendapat Leteral simitis referensi2 Group Liden/orang2 Belanda) untuk itu masih ada untuk saya rasakan bisa membantu saya dalam menjelaskan keadaan hubungan antar agama dan etnik, terutama antara Urang Banjar dan Dayak serta antara Islam dan Kristen di kalsel juga di kateng & kaltim sekarang.
Seperti Di kalteng juga seperti saudari Nila Tjilik Riwut Stadi sejarah dan budaya Dayak, sekarang sedang digalakkan oleh kalangan akademisi muda Dayak Kalteng dalam rangka memahami diri sendiri (Personality Etnis-Agama & kepercayaan )serta untuk melangkah maju ke hari depan dengan pandangan yang jelas.

1.Kenapa dayak Islam Menjadi Orang melayu?

Kenapa Banjar intensitasnya agamanya pemeluk Islam ?
Tulisan ini telah mengajak kita berpikir ke masa awal berdirinya kerajaan Banjar yang oleh para ahli diperkirakan pada dekade kedua abad-16, kemudian peristiwa pada zaman Pangeran Marhum, dan melihat sejenak pada perjumpaan Banjar-Islam dan Dayak-Katolik pada akhir abad 17. Tak dapat disanggah tulisan ini belum lengkap, dan hanyalah tulisan awal atau pembuka, karena ada banyak 1.bagian-bagian penting yang masih belum dibahas dan masih banyak acuan2 yg belum saya dapat yg sehubungan dengan Etnis, Budaya, agama Urang Banjar atau munculnya kelompok etnik Banjar sebagai satu kekuatan sosial, politik dan agama di Kalimantan Selatan, misalnya 2.peranan pemerintah kolonial Belanda dalam menciptakan kelompok suku Dayak Kristen sebagai kelompok antagonis untuk menggembosi kekuatan Banjar Islam (Idwar Saleh 1986: 11),
peranan kelompok etnis Bakumpai yang menurut Helius Sjamsuddin (1988) adalah Dayak Islam yang gencar melawan Belanda dan menurut Schawaner (1853) telah menjadi Islam sebelum ada Kesultanan Islam Banjar. Begitu juga dengan peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar Banjar. Walaupun demikian ada beberapa hal yang dapat dikatakan melalui tulisan ini: bahwa sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat Bandjar belum ada etnis atau kelompok etnis Bandjar.

Menurut Hikajat Bandjar yang ada pada waktu itu adalah orang-orang Jawa, Melayu dan Biaju, serta suku-suku lain. Pengamatan jeli terhadap proses awal berdirinya kesultanan Islam Banjar, bila dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu itu, akan menghasilkan kesimpulan bahwa empat orang Patih Biaju (bukan Islam) dan satu orang patih Melayu (Islam) mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan Islam) untuk menjadi raja. Di sini kelompok Melayu adalah kelompok minoritas, karena itu sangatlah tidak mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang suku Banjar.

Idward Saleh (1991: 2) menolak pendapat ini, dengan tegas dinyatakan:
Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Belandian, Patih Belitung, Patih Kuwin (Yg sebelumnya suku dayak ngaju bukan Islam) dan sebagainya serta orang Bakumpai

Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Maanyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu Agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. (menurut tutur dari mulut kemulut kisah sultan suriansyah berpitua saat meresmikan masjid kuin pada suatu hari raya berkata : barang siapa satia wan diaku baik nang masuk agamaku atawa kahada jua,asal inya satia wan diaku inya adalah bajaranku(Kelompokku) wargaku baik nang baandah di pinggir sungai atawa nang di hilir dihulu/pedalaman Wan jangan bacakut apalagi bakalahi sapananggungan Wan jua baulah kadiaman kasan saparundutan baandah dipinggir tabing, balalu batatanaman wan bahuma di balakang kadiaman, maulah baju jangan nang babalang (warna warni)banyu di sungai di barasihi kasan ba'udu wan manginum(konon dahulunya berbahasa dayak ngaju, jawi dan tulisannya arabi-malayu) sayang pitua ini cuma (Hikayat) dr mulut kemulut ini sengaja di hapus oleh orang2 /Peneliti Belada karena Pitua ini akan melemahkan strategi politisir mereka (yaitu pada abad ini)

2.BANJAR BUKAN KESATUAN ETNIS TETAPI KESATUAN POLITIK

Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan Politik, seperti bangsa Indonesia.nkri.

Ataukah telah terjadi kesalahan membaca Hikajat Bandjar yang ditulis oleh J.J. Ras, yaitu pada kalimat Tanjung Pura as a name for the oldest Bandjarese kraton ? (Ras 1968: 191), sehingga muncul kesimpulan "masyarakat Banjar telah terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan Tanjungpura". Di sinilah imajinasi kolonial kaum indologist terbentang bagaikan jaring laba-laba halus yang menjerat tetapi politisnya adalah kelelawar (simbol Dracula) dengan tanpa disadari. Johannes Jacobus Ras, orang Belanda kelahiran Rotterdam tahun 1926, tentunya menulis ini pertama-tama adalah untuk para pembacanya yang adalah untuk guru besarnya orang Belanda,Karena itu,ia mesti memakai bahasa, istilah atau idiom-idiom atau imaji-imaji yang dimengerti oleh orang Belanda. Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap penduduk pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis seorang guru besar di Universitas Leiden Belanda (orang Belanda lagi) bahwa: "Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu. Orang Melayu ialah penduduk asli pulau Borneo yang beragama Islam dan bukan orang Dayak" (Niewenhuis 1894: 16).
Atau seperti yang dipaparkan oleh Mallinckrodt (lagi-lagi orang Belanda, Leiden group) bahwa "Suku Banjar adalah suatu nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu" (Mallinckrodt 1928: 48).
Jadi dalam imaji orang-orang Belanda, Banjar adalah salah satu bagian dari suku Melayu.ataukah sengaja Orang Banjar di Identitaskan orang pendatang Bukan penduduk Borneo Karena itu orang Melayu diaspora dari Sriwijaya pun digeneralisasi sebagai Banjar atau sebagai the oldest Bandjarese.

Pendapat bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa yang dipergunakan yang menurut Prof. J.J. Ras, ahli sastra Melayu Fakultas
Sastra Universitas Leiden, sebagai the Bandjarese colloquial is a dialect of Malay rather than a separate language (Ras 1968: 8).
Namun pendapat ini disanggah oleh para ahli Melayu moderen, misalnya James T. Collins, Profesor
Alam dan Tamadun Melayu di Universiti Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya bahasa Melayu tidak harus dituturkan oleh orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang di kampung Kristen di Pulau Ambon (Collins 2003: v).
Jerat halus "Leiden Group" ini juga menggiring ke pemikiran bahwa penutur bahasa Melayu atau orang Melayu haruslah beragama Islam. Dalam tulisan-tulisan mengenai Banjar, kesimpulan yang sempit dan sederhana ini diderivasi dengan mengatakan
"Banjar bukan hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama" atau "Banjar menjadi identitas agama sekaligus suku"(contohnya lih. Salim 1996:227).
Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa "Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar".
Namun adalah bijak untuk mendengar apa dikatakan oleh Collins:Konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam batas geografi Asia Tenggara. Alam Melayu tidak identik dengan dunia Islam-Melayu, karena banyak penutur bahasa Melayu tidak beragama Islam. Alam Melayu bukan konsep etnis karena banyak pengguna bahasa Melayu bukan orang Melayu.

Sesungguhnya Alam Melayu lebih luas daripada wilayah masyarakat Melayu yang hanya sebagian dari Alam Melayu. Alam Melayu yang yang sangat kompleks itu memperlihatkan kadar diversitas yang sangat tinggi dalam hubungan bahasa dan masyarakat. Sayangnya, banyak ahli "sejarah Melayu" dan pakar "Nusantara" seakan-akan tidak menyadari diversitas itu. Biasanya mereka hanya mengungkapkan observasi dan mengulangi kesimpulan yang sempit dan sederhana. menurut saya: Intensitas budaya (Budi-Daya) Melayu adalah sarung dan senjata Parang serta Laung kepala.serta Ornament rumah adat (Lihat aceh,riau Padang -Banjar dll)

Di sini tampak bahwa ada kesenjangan yang mencolok antara dunia wacana dan fakta empirik di lapangan. Seperti yang terjadi diKalimantan Tengah, ada banyak keluarga Dayak Kristen memakai bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari mereka di dalam rumah, tetapi mereka tetap Dayak dan beragama Kristen. Sebaliknya ada banyak keluarga Dayak Islam yang memakai bahasa Ngaju-katingan dan ada suku dayak kalteng yg Islam satu rumah dengan saudaranya yg masih Kaharingan dan Kristen berbahasa sehari-sehari mereka, tetapi mereka tetap Dayak dan tetap Islam, juga tetap kriten.
Contoh lain juga terdapat di Kalimatan Barat di mana ada kelompok-kelompok non-muslim yang berbicara menggunakan bahasa Melayu yang berasal dari Sumatera Selatan asalnya bahasa Melayu (Sandin 1956: 54-81). Atau seperti contoh lain masyarakat Bali menganut agama Islam tetapi tidak pernah meninggalkan bahasa Bali mereka.

3.Kajian mengenai Banjar telah mencapai puncak status quo ketika adigium "Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar" dikerek tinggi kepuncak hingga menjadi tirai suci yang memberi rasa aman.

Ketika berbicara mengenai studi Islam Banjar, mengindikasikan status quo itu sebagai kemandekan serius yang muncul karena Islam Banjar hidup sendiri tanpa dialog dengan pemikiran-pemikiran Islam di luarnya (Salim 1996:242-43).

4.Kenapa kita tidak menghargai idiom-idiom orang kita sendiri pada saat di forum2 tentang apa itu“Banjar”
Kenapa kita selalu pemakalah2 tentang Banjar dan Culturalnya selalu orang luar?

5.kenapa selalu hanya orang2 Akademis saja yg menjadi panutan jika membicarakan Budaya-Etnis- dan Agama Kayanya masih ada gaya lieden group versi modern.

Menurut saya untuk mengkaji Banjar pertama-tama kita harus menetralkan karakter status quo itu, yaitu dengan meneliti teks-teks yang dibuat oleh orang Banjar sendiri, sebelum mereka bertemu dengan teks-teks Barat yang sarat dengan ide-ide kolonial dari para indolog bergaya orientalist.

Hal ini tentu saja sejalan dengan pikiran postkolonial Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme yang memaparkan bagaimana Barat mendominasi, mendaur-ulang Timur untuk kemudian menguasainya. Barat, tidak hanya menulis mengenai Timur, tetapi juga
mencipta Timur. Dalam kalimat Edward Said "bahwa budaya Barat mampu mengatur -bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif" (Said 2001: 4).
Dengan kata lain, harus ada kesadaran bahwa teks-teks Barat yang selama ini sering dipakai menjadi rujukan untuk mengatakan inilah Urang Banjar sesungguhnya kental dengan nuansa kolonial, produk para peneliti Barat yang telah membicarakan, meneliti,
merepresentasikan Urang Banjar secara sewenang-sewenang,
Jadi memang harus ada keberanian untuk menelusuri kembali asal-pangkal dari imaji-imaji yang sudah terlanjur tercipta mengenai siapa Urang Banjar itu.
Memang harus ada kesungguhan untuk mempertanyakan, bahkan mencurigai teks-teks Barat itu sebab seperti yang dikatakan oleh Benedict Anderson "bahwa pertindihan kapitalisme dan teknologi cetak-mencetak dengan keragaman fatal bahasa manusia telah menciptakan kemungkinan lahirnya bentuk baru komunitas imajiner" (Anderson 1999: 84).
Karena itulah maka "komunitas imajiner" yang bernama Urang Banjar , minimal dalam kasus diatas, memanglah berlawanan, paling sedikit beda, dengan dunia empirik.Maupun secara komfensional (yg mendasar & yg ada)
Sepertinya pendapat yg di ketengahkan Lieden group memperlihatkan bagaimana sejarah memang selalu tampil berwajah ganda, positif sekaligus negatif. Demikian juga dengan sejarah Banjar ketika terjadi kontrak politik atau tunduk dengan Demak.
Selain menganut Islam dan menang perang, ternyata ada sisi lain yang juga terjadi, yaitu hancur, lenyap dan runtuhnya satu fase berkebudayaan di Kalimantan Selatan. Tim dalam Sejarah Banjar memaparkan sisi lain dari "ketertundukkan" itu dengan kalimat "Agama Hindu runtuh dan agama Islam menggantikannya. Candi Agung dan Candi Laras dihancurkan, kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah ada kebudayaan itu di Kalimantan Selatan sebelumnya".(2003: 68, bandingkan Usman 1994: 33).
Hancurnya candi2 di Kalimantan selatan dan hilangnya benda2 peninggalan ketika masuknya orang Pertugis di Kalimantan selatan (pernah membangun Pertahanan/Beteng di Tabonio), bukan karena hancurnya Sultan Suriansyah menjadi Islam, Berbeda dengan istana Kerajaan Kutai(sayang hancur karena Usia & zaman) tetapi benda2 bersejarah masih utuh sampai sekarang, kenapa? Karena Kerajaan kutai adalah kerajaan yg di lindungi oleh Belanda.
Tetapi ungkapkan oleh Idward Saleh dengan mengatakan "bahwa pada saat Islam masuk telah terjadi penghancuran dan perusakan atas benda-benda keagamaan (iconclasm) umat Hindu sehingga rakyat tidak memiliki sedikit pun pengertian tentang apa sebenarnya bentuk candi dan fungsinya" (1983/1984: 24).
Saya tdk sependapat idiom Idwar Saleh ini kita tahu pendapat itu sama dengan JJ RASS /Lieden Group.

Sehingga politisier educatifnya bahwa Ajaran Islam selalu salah,sebagai perbandingan ketidak majuan Raja di Spanyol (kriten Spanyol)kemudian masuk Islam disana pembangunan Budaya ,ekonomi Kota2 di bangun okeh Orang Islam sampai 300 th setelah Islam kalah dengan dengan Perang salibnya, banyak Bangunan2 berbudaya Islam di Hancur- begitu juga Irak di abad ini alasan karena senjata Nuklir –senjata Kuman yg mematikan , dan sampai sekarang tdk dapat membuktikan oleh Amarika & Ingeris cs- orang barat bangunan berbudaya Islam kuno dihancurkannya, tetapi benda2 sejarah Islam di bawa ke Negri2Barat
Di sini sejarah memang selalu memperlihatkan jejak-jejak penaklukan atau penghancuran tatanan lama oleh tatanan baru yang datang dari luar.
Sisi lain lagi dari kontrak politik Pangeran Samudera adalah Banjarmasin dilibatkan untuk melawan musuh Demak yaitu Portugis. Karena itu Banjarmasin dituntut untuk membangun komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam sebagai oposisi dari Portugis yang Katolik. Di sini borok Perang Salib dipentaskan dengan membangun tapal batas agama yang dilumeri wacana kafir dan tidak kafir, insider dan outsider, ingroup dan outgroup. Namun sangat tidak disadari bahwa ketika kesultanan Banjar mencoba membangun komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam maka pada saat yang sama, secara tidak langsung, ia juga sedang membangun etno-religi yang lain, yaitu Katolik Dayak di daerah pedalaman. Di sini bisa dikatakan bahwa pergulatan antara Muslim Banjar dan Portugis Katolik mepertegas pola yang sudah ada sebelumnya pada kerajaan-kerajaan Melayu yaitu Islam tidak lebih daripada sekadar simbol persekutuan politik yang berhadapan dengan simbol persekutuan politik yang lain yaitu Katolik.
Dalam pertarungan dua kekuatan besar inilah muncul Banjar dan non-Banjar serta Dayak dan non-Dayak Maka tampaklah motif betapa pentingnya konsep bahwa Banjar itu Islam dan Islam itu Banjar. Dengan demikian, kelompok etnis Banjar muncul bukanlah sebagai hasil jalan-jalan para Melayu diaspora yang konon datang dari Sriwijaya, tetapi lebih merupakan produk dari sebuah proses sosial-politis beberapa kelompok masyarakat, yang kehidupan ekonominya didasarkan pada eksploitasi daerah pedalaman dan kemudian menjadikan Islam sebagai "spirit" pemersatu sekaligus pembeda dengan orang Portugis atau etnis yang seagama dengan orang Portugis. Namun kesimpulan ini bukan barang baru. Secara sayup-sayup kurang lebih 30 tahun yang telah liwat, Idwar Saleh menulis:
Untuk proses perkembangan selanjutnya agama Islam berfungsi mempersatukan kelompok atau memisahkan dan menjadi kriteria antara beradab dan belum beradab, antara orang Banjar dan bukan Banjar. Jadi waktu masih belum ada agama Islam dan Kristen masuk, belum ada yang memisahkan suku-suku ini. Waktu agama Islam masuk mulailah pemisahan itu.di sebabkan propaganda Penjajah (Non Islam masa lalu)
Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa Urang Banjar bukanlah sebuah komunitas kultural tetapi lebih kepada komunitas politik, di mana di dalamnya bisa ada banyak kultur dan etnis.bahwa diteropong dari kekayaan spiritual suku Dayak Ngaju yang menempatkan Marhum Panembahan, atau saat anak putrid sultan suriansyah menduduki kepemimpinan di tamiang laying sampai barito waktu dulu atau Sultan Islam Banjar ke-4, sebagai salah satu pantheon di Alam Atas, ternyata istilah Islam Banjar bukanlah satu istilah yang monokultur. Di dalamnya ada Islam Ngaju (dan juga Islam Bakumpai), karena memang ada banyak orang Ngaju memeluk agama Islam. Kembali diperlihatkan satu kenyataan lain, ternyata baik Islam maupun Banjar tidak menjadi melting pot budi-daya yang bertujuan meyeragamkan semua pengalaman agama dan budaya seseorang tetapi lebih tepat menjadi segelas Es campur saat udara panas. Karena sesungguhnya orang tidak betul-betul melebur menjadi satu meninggalkan identitas asalnya untuk kemudian luluh dalam Melayu yang katanya adalah kultur dominan pada masyarakat Banjar. Minimal pada saat periode sutan Banjar pertama sampai ke Rmpat wajah Ngaju atau Biaju mendominasi istana kesultanan Banjar. Hal ini memang menjadi fakta yang mendekonstruksi ide warisan kolonial yang mengatakan bahwa Dayak itu non-Muslim dan Banjar itu Muslim. Ternyata bahwa, sejak abad ke-16 di istana Kesultananan Banjar, Dayak tidak hanya non Muslim tetapi juga Muslim.

Sehubungan dengan adanya warisan kolonial itu, sebagai orang yang hidup pada era post kolonial, rasanya sulit untuk menerima adigium atau jargon "Banjar itu Islam, Islam itu Banjar atau orang bukit yg setia dengan sultan Banjar dayak Banjar" yang bukan hanya sulit dimengerti secara historis, melainkan juga sukar dipahami secara sosiologis. Sebab, dari berbagai catatan sejarah diperlihatkan bahwa jauh-jauh hari sebelum para tentara Demak datang ke Banjarmasin dan memperkaribkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat dan raja-raja di Banjar, sudah ada penduduk Islam di masyarakat pesisir juga sudah ada melembaga rupa-rupa keyakinan dan bermacam-macam ritus yang bukan Islam. Demikian pula secara sosiologis kita dapat merasakan bahwa jargon tersebut seperti memendam kecenderungan untuk tidak toleran terhadap keberagaman Banjar. Kita tahu, bagaimanapun, hingga kini Banjar itu tidak satu warna, melainkan serupa pelangi. Dan tiap-tiap warna ke-Banjaran tentu memiliki hak hidupnya sendiri.

Pada sisi lain, fakta ini juga memperlihatkan bahwa di antara yang bertentangan itu terdapat ambiguitas atau ruang celah yang menjadi wilayah terlarang sehingga tabu diperbincangkan. Di celah yang sempit itu, yang adalah penjara kenangan masa lalu, Akhirnya dapat dimengerti kenapa orang bingung ketika ditanya "Kenapa menjadi urang Banjar?".tidak seperti orang Bali sejak nenek moyangnya memang etnis bali, wilayah atau tempat kota daerah kelahiran bukan sebagai dasar pengakuan sebagai Orang/Urang banua,Seperti saya kakek -nenek saya orang beberapa Kabupaten hulu sungai, tetapi bukan menjadi dasar suku etnis/ Urang , tetapi saya tetap mengaku sebagai Urang Banjar suku Banjar atau juga agama bukan harus ada perubahan etnisnya

Banjarmasin 10 Oktober 2007