Selasa, 26 April 2011

SENI DORONG KESADARAN BERMAKNA



Oleh: HE. Benyamine

Diam, kata yang seakan menjadi penuntun sekaligus ekspresi utama pada pergelaran malam seni (23/4/11) yang diselenggarakan Sanggar Ar-Rumi Martapura dan KNPI Kabupaten Banjar yang didukung oleh STAI Darussalam Martapura, Kelompok Halilintar Banjarmasin, dan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pendidikan dan Olahraga Kabupaten Banjar di Gedung Balai Pemuda Barakat. Diam dengan berbagai ungkapan bentuknya yang terungkap dalam dramatisasi puisi, tari, dan teater monolog secara tersirat menjadi tema pergelaran tersebut. Diam bukan berarti tidak bergerak, atau kehilangan mimpi-mimpi yang menjalar dalam pikiran dan hati, yang mampu terus mendorong untuk mempertahankan daya hidup meskipun terus mengalami hegemoni dan pembungkaman.

Pada penampilan dramatisasi puisi, tari, dan teater monolog tersebut terangkai gerak perlawanan terhadap arus utama budaya yang bersandar pada hasrat dan kerakusan. Perlawanan yang cenderung diam, bagai suara pinggiran yang sayup-sayup terdengar sebagaimana yang tercetus di warung-warung; mawarung style, namun tetap terlihat adanya kesadaran atas kondisi dan hiruk pikuknya budaya instan dan artifisial yang terus gencar dan intens secara halus merasuki kecenderungan gaya hidup masyarakat. Diam bukan berarti bisu dan tuli, karena para penggiat seni masih menunjukkan bahwa mereka tidak gampang ditundukkan apalagi dibungkam yang terlihat dari penampilan-penampilan yang dipentaskan.

Melalui puisi dan penampilan dramatisasi puisi jelas terlihat bahwa kesadaran tentang kerusakan alam yang disebabkan kerakusan yang serakah harus dilawan, sekalipun tidak terdengar secara lantang di arus media dan corong-corong pencitraan. Jelas terungkap kegetiran dan kepiluan atas bencana dan malapetaka yang disebabkan kerakusan yang serakah, sebagai sesuatu yang disadari dan membangkitkan kepedulian mereka untuk mengingatkan kepada pengambil keputusan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dengan terganggunya keseimbangan alam. Mungkin, dikarenakan kesadaran yang masih bersemai dalam bentuk seni atas fenomena kerusakan alam dan kerusakan sosial akibat kerakusan yang serakah tersebut yang membuat para elit politik dan elit kekuasaan tidak begitu berminat dalam pergelaran seni. Sehingga, meskipun lantang terucap, kesadaran itu lebih cenderung bagian dari diam dan dibiarkan bergerak dalam lingkarannya sendiri.

Begitu juga dengan tari Banjar, tari tradisi, pada penampilannya yang mengalir seperti aliran sungai-sungai, yang terus bergerak dalam diam, yang begitu kesulitan dalam menemukan panggung pertunjukkannya layaknya sungai-sungai yang terus menanggung beban dari kerakusan yang serakah. Kerusakan dan pencemaran sungai-sungai di tanah Banjar seperti dibiarkan saja seakan tidak terjadi hal yang serius, begitu juga dengan tari tradisi Banjar yang juga ditelantarkan layaknya sungai-sungai tersebut. Panggung yang tertutup bagi tari sejajar dengan sungai yang mendangkal dan tercemar, sama dalam kehilangan aliran dan daya hidupnya.

Perlawanan diam juga dipertunjukkan dalam teater monolog Kelompok Halilintar Banjarmasin pada Pergelaran Malam Seni ini, dengan naskah “Shiiittt Diam”, yang secara tersirat menyatakan ketidakpedulian terhadap seni merupakan bagian dari pembungkaman berekspresi, bahkan dalam mimpi dan angan-angan sekalipun dapat dinyatakan sebagai tindakan subversif dan mengganggu keamanan dan ketertiban. Memang, saat ini tidak lagi popular tuduhan tindakan subversif, karena sudah berubah secara lembut dengan cukup hanya mengabaikan aktivitas seni itu sendiri dan membiarkannya bergerak di wilayah tanpa panggung dan keberpihakan sebagaimana bidang lainnya.

Pada pergelaran seni yang diselenggarakan Sanggar Ar-Rumi Martapura ini, memperlihatkan ada semangat yang tidak terseret arus utama budaya instan dan artifisial, meskipun tergambar keterbatasan dan masih lemahnya keberpihakan dan kepedulian elit kekuasaan. Aktivitas berkesenian seperti ini sudah seharusnya mendapatkan perhatian dan dukungan elit kekuasaan daerah, walaupun beberapa pandangan dari ekspresinya merupakan kritik terhadap perilaku dan kebijakan elit kekuasaan yang bersangkutan. Dukungan dan perhatian berbagai kalangan, khususnya pemerintah daerah, dapat lebih meningkatkan kreativitas dan kualitas pertunjukkannya.

Jadi, aktivitas seni sebagaimana pergelaran malam seni Sanggar Ar-Rumi, merupakan pertunjukkan yang mengalirkan pandangan yang tidak terseret arus utama budaya yang terpasung pencitraan. Ada perlawanan terhadap ketidakadilan dan kerakusan yang serakah, yang tetap menjaga kesadaran kritis terhadap berbagai tindakan yang merusak, seperti kerusakan dan pencemaran alam serta beban yang dipaksakan harus ditanggung daripadanya bagi semua. Aktivitas seni bagai mengalami pembungkaman bila begitu dibatasi ruang geraknya dengan penghilangan panggung-panggung pertunjukkannya, padahal melalui aktivitas seni inilah mengajak bagi semua untuk tetap menjaga kesadaran yang bermakna.

(Radar Banjarmasin, 25 April 2011: 3)